Keberadaan Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah organisasi sub regional beranggotakan negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik Selatan yang dibentuk untuk mewadahi kerjasama multi lateral anggotanya, mungkin kurang familiar bagi masyarakat Indonesia; namun sudah saatnya ada porsi perhatian yang dialokasikan ke sana seiring dengan masih merebaknya isu tentang Papua merdeka di wilayah tersebut.
Hal di atas dikemukakan oleh Sundawan Salya (58), Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN), dalam disertasi berjudul ‘Diplomasi Publik Indonesia Terhadap Melanesian Spearhead Group Dalam Mengonter Isu Papua Merdeka’ yang berhasil menghantarnya meraih gelar Doktor Hubungan Internasional pada sidang akademik terbuka yang digelar di Kampus Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada Senin (10/4) lalu.
Sundawan yang juga merupakan anggota Korps Menwa Mahawarman Yon II Unpad tersebut selanjutnya memaparkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, ada dua hal pokok yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam mengelola isu Papua merdeka, yakni sikap negara-negara anggota MSG terhadap isu Papua merdeka dan diplomasi publik Indonesia terhadap MSG untuk menetralisir isu Papua merdeka tersebut.
MSG yang beranggotakan empat negara, yaitu Papua New Guinea (PNG), Solomon Islands (SI), Vanuatu, dan Fiji; terbelah menjadi dua kelompok dalam menyikapi isu Papua merdeka ini dimana PNG, SI, dan Fiji sepakat mendukung kebijakan politik Republik Indonesia (RI) di satu sisi berhadapan dengan Vanuatu yang pro Papua merdeka.
Sikap Vanuatu itu secara tegas dinyatakan oleh Perdana Menteri Moana Carcasses Kalosil sejak awal masa jabatannya melalui Agenda Prioritas 100 harinya tertanggal 10 April 2013 yang salah satunya mengumumkan dukungan terbuka pada gerakan Papua merdeka, West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), untuk masuk dalam keanggotaan MSG dan membatalkan kesepakatan kerjasama pertahanan ( Defence Cooperation Agreement,DCA) antar RI – Vanuatu yang ditandatangani pada tahun 2011.
Saat WPNCL yang dikomandani oleh Andy Ayamiseba bergabung dengan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang diketuai oleh Buchtar Tabuni - Benny Wenda dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) pimpinan Forkorus Yobaisembut meleburkan diri dalam satu organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang nampaknya merupakan tindak-lanjut ketiga organisasi Papua merdeka setelah melakukan pertemuan di Vanuatu pada bulan Oktober 2015 atas undangan pemerintah negara tersebut; dukungan untuk menjadi anggota penuh di MSG pun dialihkan pada organisasi baru itu. Vanuatu bukanlah satu-satunya pihak yang berhasil dilobi oleh para penggerak Papua merdeka untuk mendukung gagasan mereka, masih ada Amerika-Inggris-Australia-Belanda yang dikategorikan sebagai rantai internasionalisasi isu Papua merdeka lewat salah satunya gerakan Free West Papua Campaign.
Hal tersebut tentu tak bisa dibiarkan begitu saja, bercermin dari kasus lepasnya Timor Timur yang mencerminkan kurang efektifnya diplomasi yang dijalankan pemerintah saat itu, maka untuk kasus Papua kali ini harus ada respon diplomatik yang lebih cerdas untuk melindungi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Pemerintah, menurut Sundawan, tidak hanya bisa bermain dengan instrument diplomasi konvesional yang bertumpu pada hubungan antar pemerintah dan pendekatan militer semata, namun juga diplomasi publik yang mampu secara signifikan mempengaruhi persepsi-perilaku elit dan publik baik di dalam maupun di luar negeri agar turut menjaga dan memperkuat keutuhan NKRI.
Sejauh ini ada lima dimensi diplomasi publik yang telah dijalankan oleh pemerintah RI terhadap negara-negara MSG yang direkomendasikan oleh Sundawan untuk terus dilakukan secara konsisten dalam upaya melindungi NKRI dari upaya disintegrasi Papua, yakni dimensi sosial budaya, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan pembangunan infrastruktur. Kelima dimensi diplomasi publik tersebut dinilai cukup efektif sebagai sarana untuk meredam isu Papua merdeka di kawasan Pasifik Selatan, terbukti tinggal Vanuatu dari empat negara anggota MSG yang masih pro Papua merdeka.
Persepsi publik adalah setting dan konteks kunci yang akan menjadi salah satu petimbangan penting dalam menetukan arah kebijakan, maka diplomasi publik pun harus dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan dalam upaya melindungi berbagai kepentingan RI di percaturan diplomatik internasional, termasuk dalam urusan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H