Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Mantera Alifbata Sutardji Calzoum Bachri

Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sutardji adalah magma yang sederhana dalam keseharian (dok WS)

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau/

resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian/

raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian/

mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai/

siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia/

waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas/

duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai/

oku okau okosong orindu okalian obolong  orisau oKau O …

( Puisi ‘ O ‘ / Sutardji Calzoum Bachri, 1966-1973)

‘O’ adalah pengertian yang dalam akan sesuatu setelah menapaki fase-fase kesedihan, kebimbangan, rasa tercampakkan, kecemasan, keinginan berjumpa yang mencekam pada sesuatu yang belum jelas, yang coba dicari pada sekeliling namun hanya kehampaan yang dijumpa sebelum akhirnya kembali pada rasa kangen dan resah yang mempertemukan dengan kesadaran akan keberadaan ‘Kau’. Semua menggunakan huruf kecil kecuali pada kata ‘Kau’ dan  O’ di baris  penghabisan  ditutup rangkaian titik yang mengisyaratkan bahwa itu belum selesai. Perjalanan memang belum berakhir bagi Sutardji Calzoum Bachri (75).

Dalam suratnya kepada HB Jassin, Chairil Anwar mengemukakan bahwa ia ingin mengorek arti kata sampai kepada intinya. Sebetulnya yang dicapainya adalah kelantangan ungkapan yang mempunyai vitalitas penuh, akan tetapi pengorekan inti kata seperti yang dimaksudkannya, sebetulnya baru berhasil dicapai oleh Sutardji …’ Pernyataan pelukis Drs Popo Iskandar itu tercetak rapi di jilid belakang buku kumpulan puisi Sutardji yang bertajuk O Amuk Kapak(terbitan Penerbit Sinar Harapan, 1981)

Sutardji yang akrab dipanggil Om Tardji itu memang pernah ‘diramal’ sewaktu kecil akan menjadi ‘seperti’ Chairil, pelopor kesusastraan Angkatan’45  yang melegenda dengan idiom ‘aku binatang jalang’nya tersebut. Sempat sangat terkenal dengan julukan Penyair Bir, mengacu pada kebiasaannya menenggak berbotol-botol bir sampai mabuk untuk mencapai tranceagar bisa lepas membacakan puisi-puisinya di pentas. Kepompong waktu  lebih dari dua dekade menuntunnya untuk bermetamorfosa menjadi Penyair Zikir sampai saat ini.

Mimik garang terkesan lantang menyuarakan puisi-pusinya dan gestur semau gue bahkan nyaris telanjang yang terekam dalam foto-foto lawas performa Om Tardji tak nampak sama sekali saat saya mengobrol dengannya di salah satu kafe di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, malam (30/9) itu.Bang Ane Matahari, pentolan komunitas Sastra Kalimalang yang getol menularkan virus memelodikan puisi, sangat berjasa dalam mempertemukan kami.

………………………………………………………………………………………………………

kucing meronta dalam darahku meraung/

merambah barah darahku dia lapar O a/

langkah lapar ngiau berapa juta hari/

dia tak makan berapa ribu waktu dia/

tak kenyang berapa juta lapar lapar ku/

cingku berapa abad dia menca/

kar menunggu

( Puisi ‘Amuk’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1973-1976)

Obrolan Om Tardji, Bang Ane, lalu ada Om Muin yang bergabung belakangan memang mengasyikkan untuk disimak. Tentang botol-botol bir yang dibilang sang penyair menjadi penghantarnya pada trance saat membacakan puisi-puisinya yang teramat memanjakan kata-kata hingga bahkan sebuah huruf saja pun bisa bebas menampilkan maknanya sendiri,”Masih muda waktu itu, kurang pede, …” Tuturnya menjelaskan kebutuhan akan mabuk agar lebih leluasa berekspresi. Termasuk saat didaulat tampil membawakan acara dalam momen perayaan ulang tahun ke-10 majalah Horison di tahun 1976, Sutardji muda yang seperti biasa telerberat dengan garang-lantangnya menyuarakan puisi sambil … melepas satu-per satu busana yang dikenakan sampai hanya tinggal celana dalam  yang melekat di badannya !

semua orang membawa kapak/

semua orangbergerak pergi/

menuju langit/

semua orang bersiapsiap nekad/

kalau tak sampai langit/

mengapa tak ditebang saja/

mereka bilang

…………………………………………………………………………………………………………………..

( Puisi ‘Kapak’ / Sutardji Calzoum Bachri, 1977)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline