Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Dibutuhkan Segera: Pahlawan Pangan Indonesia

Diperbarui: 16 Agustus 2016   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita merdeka mengelola aset pangan negeri sendiri (dok WS)

Ada beberapa fakta menggelitik yang sepertinya cukup aktual untuk direnungkan dalam perayaan kemerdekaan negeri tercinta ini yang pada 17 Agustus 2016 tmencapai bilangann usia 71 tahun. Misalnya, tahukah Anda kalau pemerintah menghabiskan sekitar US$ 46,6 juta untuk membeli 1,04 juta ton garam dari luar negeri ? Itu masih ditambah lagi dengan US$ 97,8 juta untuk beras, US$ 522,9 juta untuk jagung.

US$ 719, 8 juta (kedelai), US$ 1,3 milyar (biji gandum dan meslin), US$ 19,5 juta (gula pasir), dan US$ 789 juta (gula tebu). Total US$ 3,5 milyar setara Rp. 51 triliun  kita belanjakan untuk kedelapan jenis bahan pangan tersebut (Biro Pusat Statistik, Januari-Agustus 2015). Belum lagi kalau kita menambahkan nilai belanja impor buah yang pada tahun 2013 mencapai US$ 694.2 juta  untuk buah segar/kering maupun  buah olahan.

Total nilai ekspor non migas, termasuk komoditas pangan, Indonesia secara kumulatif per Januari-Maret 2016 mencapai US$30,14 miliar atau menurun 9,64 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Khusus untuk ekspor hasil pertanian turun 17,44 persen. Sementara itu kumulatif nilai impor non migas mencapai US$28,06 miliar (turun 8,37 persen).

Sekilas terlihat posisi neraca menunjukkan adanya ‘keuntungan’, namun catatan dari hasil survei yang sama menyatakan bahwa nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–Maret 2016 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar 15,21 persen dan 18,22 persen. Sebaliknya impor golongan barang konsumsi meningkat 23,74 persen.

Kalimat terakhir semakin mengokohkan posisi kita dalam peta perdagangan global sebagai konsumen alias ‘target pasar’ untuk barang-barang produksi negara-negara lain, khususnya yang tergabung dalam forum organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) dan forum ekonomi Asia-Pasifik APEC (Asia-Pacific Economy Cooperation).  Direktur Indonesia Global Justice, Riza Damanik, menilai bahwa keterlibatan Indonesia dalam kedua organisasi tersebut berpotensi menggerus kemandirian bangsa.

Pelarangan pemberian subsidi bagi para petani dan petambak selama satu dekade terakhir dan kebijakan pembatasan impor komoditas hortikultura pada tahun 2011 yang akhirnya digugat Amerika Serikat pada tahun 2013 hingga terpaksa harus direvisi untuk kepentingan bangsa lain adalah contoh rendahnya daya lobi kita di WTO.

Selain itu perjanjian dagang internasional via APEC memaksa Indonesia untuk terus memperluas perkebunan kelapa sawit yang 70 persen hasilnya adalah untuk ekspor. Ekstensifikasi lahan tersebut akhirnya berdampak pada kian menyusutnya lahan pertanian hingga pemerintah terpaksa harus mengimpor produk pangan dari mulai beras sampai garam.

Urusan kebijakan notabene adalah urusan para pengemban amanah kepemimpinan di Indonesia, lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara biasa yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini? Tentu saja kita pun bisa membuat kebijakan sendiri untuk urusan pangan ini yang berlaku meliputi teritori domestik sesuai kapasitas kita masing-masing dari mulai diri sendiri, keluarga inti, keluarga besar, atau komunitas tertentu dengan berbagai skala bila kita ditakdirkan jadi salah satu figur panutan di situ.

Kita bisa mulai dengan menertibkan daftar makanan yang sering kita santap dari mulai makanan pokok sampai camilan. Kuliner impor yang konten bahan produksinya dominan impor, apalagi bila kehalalannya tak jelas dan potensial membahayakan kesehatan, adalah prioritas pertama yang harus kita hilangkan dari daftar menu. Aneka hidangan khas mancanegara yang berbahan baku utama daging sapi impor sebaiknya kita hindari atau minimal dikurangi frekuensi menyantapnya.

Rendang Padang atau bistik Jawa toh tetap lezat meski berbahan baku daging sapi lokal. Apel Malang mungkin tak secantik apel Xiandong atau California, begitu pula halnya jeruk Medan tak seayu jeruk impor dari negeri Paman Sam;  namun konten gizi secara umum sama bahkan karena produk lokal kemungkinan penggunaan pengawetnya juga jauh lebih rendah.

Begitu pula untuk aneka produk olahan berbahan dasar ayam atau ikan, usahakan memilih produk dari pengusaha yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan lokal dalam pembuatannya. Sesekali pulsa internet bisa digunakan untuk sebuah langkah nasionalis yang sederhana, browsing profil-profil produk pangan yang kontennya dominan komoditas lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline