Sesi wawancara bersama Gubernur Jabar (dok WS)
“Saya bicara sebatas normatif saja saat ditanya para wartawan seputar wacana penggusuran warung kafe di area Tahura Djuanda beberapa waktu lalu.” Papar Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ahmad Heryawan (50), dalam wawancara di ruang kerjanya di Gedung Sate, jl Diponegoro, Senin (9/5) lalu,”Saya katakan, kalau melanggar hukum … yaa ,dibongkar saja. Tapi tentu saja perlu investigasi lebih mendalam untuk memutuskannya.”
Figur yang akrab dipanggil Kang Aher itu selanjutnya menambahkan bahwa dia akan menginstruksikan jajaran terkaitnya untuk mendalami isu lingkungan yang belakangan marak bergulir sebagai bahan pemberitaan media massa di Jabar tersebut. Selain aspek legalitas, faktor kelestarian lingkungan hidup, dan dampak sosial terhadap masyarakat di lingkungan Tahura (Taman Hutan Raya) Ir H Djuanda juga akan menjadi bahan pertimbangannya sebelum membuat keputusan final.
Tahura Djuanda seluas 590 hektar tersebut keberadaannya dikukuhkan secara formal melalui Kepres No.3/M/1985 yang pengelolaannya diatur berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 192/Kpts-II/1985. Selanjutnya seiring diberlakukannya otonomi daerah, pengelolaan Tahura kemudian mengingat pula posisinya yang lintas wilayah Kabupaten dan Kota,yaitu terletak di Kabupaten Bandung (Kecamatan Cimenyan dan Kecamatan Lembang) dan Kota Bandung (Kecamatan Coblong), maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, kewenangan pengelolaannya berada di tangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar, dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan (Dinhut) Provinsi Jabar.
Hal tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinhut Provinsi Jabar yang secara teknis maupun administrasi bertanggung jawab kepada Kepala Dinhut Jabar. Jadi pada prakteknya pengelolaan (pemeliharaan ekosistem , pengamanan aset biologis, manajemen keuangan dan administasi) Tahura sehari-hari menjadi tanggungjawab Kepala Balai Pengelolaan Tahura.
Saat ini tengah bergulir konflik antara Kepala Balai Pengelolaan Tahura yang baru dilantik pada 4 April 2016, Lianda Lubis, dengan eks Kepala Balai lama (2011-2016), Imam Santoso, berkaitan dengan pemberian ijin pendirian warung kafe di Pintu Utama (Pos I) Tahura. Ada empat warung kafe yang berdiri di kawasan tersebut, yaitu Armor Kopi, The Jungle, Warung Pinus, dan Balcony. Tak berapa usai pelantikannya, Lianda melakukan sidak ke lokasi tersebut dan selanjutnya mengeluarkan pernyataan bahwa keberadaan warung-warung kafe itu illegal hingga harus dibongkar. Aksi ini kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya rangkaian berita di salah satu media terkemuka di Jabar yang sayangnya mengabaikan faktor cek dan ricek alias bersifat sepihak saja.
Imam , salah satu pemilik warung, yang mengeluarkan ijin penyewaan lahan di akhir masa jabatannya sebagai Kepala Balai Pengelolaan Tahura mengklaim bahwa dia melakukan hal itu dalam koridor peraturan yang berlaku dengan sangat memperhatikan fungsi Tahura sebagai kawasan konservasi alam, “Warung kafe dibangun sesuai site plantahun 2006 yang memasukkan penggunaan area Pos I ini salah satunya untuk pendirian bangunan yang bersifat komersial, lagipula tipe bangunan warung bukan jenis permanen yang berpotensi mengganggu resapan air atau semacamnya,” Papar Imam seraya menambahkan bahwa dalam proses pembangunan warung-warung kafe itu, dia sangat tegas untuk urusan kelestarian hutan,”Saya pastikan tak ada pohon yang sengaja ditebang untuk mendirikan warung, bahkan saya melarang pembakaran sisa-sisa bahan bangunan di dalam kawasan ini … semua dilakukan di luar.”
Surat perjanjian sewa lahan juga sudah ditembuskan pada Kepala Dinas Kehutanan dan semua jenis pembayaran dari para penyewa langsung disetorkan ke Bendahara Balai Pengelolaan Tahura, “Saya menyimpan bukti-bukti pembayarannya.” Tambah Imam seraya memohon kebijaksanaan Pemprov meninjau kembali wacana penggusuran warung-warung kafe yang dinilainya signifikan menambah pendapatan Tahura, memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekitar tanpa membahayakan konservasi lingkungan itu,”Setidaknya ijinkan kami beroperasi sampai masa sewa berakhir agar investasi yang sudah ditanamkan tidak hilang sia-sia.”
“Jangan kuatir, masalah perjanjian sewa lahan itu akan dipertimbangkan secara proporsional.” Tegas Kang Aher,”Saya pun memahami kekuatiran para pemilik warung kafe tentang investasi yang terlanjur ditanamkan di sana, kasusnya akan dikaji secara menyeluruh.”
Gubernur yang konsisten menuai prestasi setiap tahun dalam menjalankan roda pemerintahannya tersebut menegaskan kembali bahwa dia berkepentingan memastikan Tahura dapat berfungsi optimal sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis serta pelestarian pemanfaatan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Namun hak-hak rakyat yang ada di sana pun tetap dihargai dan diakomodir dalam koridor peraturan yang berlaku.
“Di bagian dalam kawasan Tahura, ada sekitar 50 hektar merupakan milik masyarakat dan hal tersebut tetap diakui dengan ketentuan bahwa mereka hanya boleh menjualnya pada pihak Pemprov untuk dihutankan.” Tutur Kang Aher seraya menambahkan bahwa saat ini sekitar 25 hektar diantaranya sudah dibeli Pemprov dan direboisasi untuk menjadi hutan kembali.