[caption caption="Bermain dengan Rudi dan anak asuhnya di Tugu Yogya (dok WS)"][/caption]Malam itu (9/10) suasana di sekitar Tugu Yogya; yang terletak di sebuah perempatan yang menjadi poros Jl Sudirman, Jl Pangeran Mangkubumi, Jl Diponegoro, dan Jl Sangaji Yogyakarta, sangatlah ramai. Pergerakan kendaraan dan dinamika para pengunjung yang sibuk berpose, konon tak afdol ke Yogya tanpa foto dengan latar landmark yang imut itu. Sebagian mereka memilih duduk-duduk di trotoar pengkolan yang mengarah ke Stasiun Tugu, lantas kalau perut mulai dangdutan langkah bisa diayun ke arah Jl Mangkubumi tempat para pedagang angkringan dan Wedang Ronde mangkal. Nasi Kucing dan teman-temannya siap mengenyangkan dengan harga terjangkau.
Tentu saja sebagaimana lazimnya arena tongkrongan malam terbuka di kota-kota besar lainnya, tak lengkap tanpa kehadiran para pengamen yang berjuang mengumpulkan biaya hidup dengan menampilkan apa saja yang mereka bisa untuk menarik saweran dari orang-orang yang mereka hampiri. Setelah rombongan waria berbodi kekar dengan riasan wajah blink-blinknya berlalu sambil mendendangkan potongan-potongan lagu tak jelas dan meninggalkan teman cowok saya merinding karena kecentilan mereka, tampillah seorang bapak berkursi roda mencoba menggugah hati para penikmat jajanan angkringan dengan sebuah puisi yang dibacanya dengan suara lantang dan menggelinding pergi setelah pendampingnya mengedarkan sebuah wadah plastik untuk mengumpulkan recehan.
Usai menandaskan minuman panas pilihan masing-masing; Afary, Kang Ayip, dan saya pun kembali melangkah ke arah Tugu lantas mataku tergerak pada kerumunan kecil di sudut jalan. Ternyata mereka tengah menyaksikan seorang ibu dan putra kecilnya mencoba berpose dengan dua ekor burung hantu yang begitu aktif mengepak-ngepakkan sayap mereka sembari berkoak-koak. Sementara sang ayah sibuk membidikkan kamera ponselnya ke arah mereka dari berbagai arah. Semula mama dan putranya terlihat kurang nyaman berinteraksi dengan makhluk yang dipakai melambangkan sifat cendekia itu, namun seorang lelaki kurus berbandana ungu menenangkan mereka sambil sesekali mengusap atau mengacungkan sesuatu pada burung-burung hantu itu. Akhirnya mereka pun puas berfoto lalu meletakkan selembar uang di kotak dekat tempat bertengger makhluk-makhluk bersayap yang pintar bergaya itu.
Rudi (25) tersipu dan sesaat ragu sebelum akhirnya, dengan dorongan orang-orang di situ, merespon lambaian tangan saya untuk ikut berfoto bersama di bawah bidikan Afary. Para pejalan kaki ikut merubung menonton aksi kami dan naturalnya interaksi Rudi dengan ‘anak-anak’ asuhnya bikin saya iri. Gestur burung-burung menggemaskan itu saat berinteraksi dengan lelaki asal Semarang tersebut menunjukkan betapa mereka menyayanginya.
“Usianya 5,5 bulan dan makannya tiga ekor anak ayam hidup tiga kali sehari.” Papar Rudi tentang ‘anak-anak’ asuhnya yang memang tergolong masih bayi untuk ukuran spesies burung hantu jenis belukwatu (Glaucidium castanopterum) dengan masa hidup 10 tahun di habitat asli bahkan konon bisa mencapai 50 tahun di penangkaran ini. Sepertinya Rudi memang tergolong sosok yang ulet dalam melatih, kedua burung hantunya ramah dan mampu memahami instruksi tuannya dengan baik. Menurut Rudi, mereka mangkal hampir setiap malam dekat Tugu Yogya untuk mengais rezeki via saweran seikhlasnya dari para pejalan kaki yang ingin berpose bersama burung-burung imut nan menggemaskan itu.
[caption caption="Pose bareng para pengamen kampus (dok WS)"]
[/caption]
Bukan hanya Rudi, sekelompok anak muda yang melakukan cosplay figur-figur budaya lokal seperti Hanoman, Gatotkaca, dan prajurit Kraton juga melakukan hal yang sama. Mereka mengaku mahasiswa semester akhir Institut Seni Indonesia (ISI) yang , entah karena tuntutan tugas akademik atau memang butuh duit, mengamen pula dengan menjadi teman pose para pengunjung yang berkenan. Dibanding Rudi, mereka memang terlihat lebih profesional untuk urusan ganti gaya sampai pengumpulan uang. Ada empat penampil dan ada empat wadah saweran yang harus diisi oleh pengguna jasa mereka.
”Seorang satu, mohon jangan samakan dengan bersedekah pada pengemis.” Bisik salah seorang di antara mereka.
Saya tafsirkan saja bisikan itu sebagai harapan mereka untuk mendapat imbalan yang pantas dengan jerih payah mereka dari mulai memilih kostum, berdandan, dan mejeng semalaman di bawah langit terbuka. Saya patungan dengan Kang Ayip untuk mengisi wadah-wadah mereka lalu mengajak Afary pulang ke penginapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H