Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Menjelajah Langit dengan Parasut Anak Negeri

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_135054" align="aligncenter" width="640" caption="Mengangkasa dengan parasut buatan sendiri (doc Adi)"][/caption] Aerosport alias olahraga dirgantara identik dengan produk impor berharga mahal karena para praktisinya percaya bahwa aspek keselamatan (safety) bakal terjamin bila mereka menggunakan peralatan buatan negara Barat,mayoritas AS, itu. Fenomena sedemikian rupanya menggugah R Adimursito (50), lelaki yang menjalani kehidupan profesionalnya di PT Merpati Nusantara sejak 1988 itu merasa tertantang,”Orang Indonesia juga bisa membuat berbagai peralatan aerosport dengan kualitas bersaing bahkan nantinya harga jual bisa lebih murah.” Tutur Adi,”Yang penting pede (percaya diri –pen.).”

[caption id="attachment_135055" align="alignleft" width="300" caption="...memaparkan kualitas produk lokal...(doc WS)"][/caption] Adi melanjutkan argumentasinya tentang kapabilitas anak negeri untuk membuat peralatan aerosport,” Kalau buat peralatan sendiri hanya butuh biaya sekitar 5 jutaan untuk parachute basic lengkap, sementara produk impor antara 20 - 30 juta belum termasuk harness. Parasut lengkap untuk parasailing gak sampai2 juta dan untuk paragliding tandem lengkap cuma 5-6 jutaan.”Ujarnya,” Sudah aku uji terbang dengan tiga orang dan bisa mengapung baik di udara. O,ya, first flight dilakukan oleh para penjahitnya hingga dengan begitu bisa dipastikan mereka akan sangat berhati-hati dalam membuat parasutnya.” Maka begitulah para penjahit yang tidak memiliki sertifikat terbang itu pun mencicipi jadi layang-layang memakai parasut hasil jahitan sendiri,”Akhirnya jadi pada ketagihan terbang.” Adi tertawa.

Pendidikan Para Dasar (terjun payung) Kodiklat TNI-AU di Lanud Sulaiman Bandung 1984 yang diikuti Adi semasa masih menjadi anggota Menwa Unpad Bandung plus serangkaian latihan pemantapan (refreshing) yang dia jalani sesudahnya telah membuat anak keempat dari sembilan bersaudara pasangan almarhum R Adi Karyono – Soekarsih ini perlahan tumbuh menjadi pecandu parasport. Sesuatu yang rupanya sempat membuat resah mendiang ibunya,”Kalau Mak gue tahu aku berangkat pagi-pagisekali untuk prepare terjun, dia jadi gak bisa kerja di kantornya. Setelah tahu aku landing selamat baru tenang. Padahal mestinya tidak perlu gusar begitu, kan stok banyak, masih ada delapan anak yang lain.” Kenang Adi yang semasa kecil rajin membantu ibunya memasak ini,”Gue sempet dimusuhin sama saudara-saudara gara-gara itu tapi mau gimana lagi, sudah terlanjur suka.”

[caption id="attachment_135056" align="aligncenter" width="686" caption="...bukan sekedar cantik tapi juga "][/caption]

Pengalamannya memakai berbagai peralatan aerosport, kecanduan terbang yang terkungkung rutinitasnya sebagai bagian dari direksi perusahaanplus nasionalisme yang sedikit tersentil akhirnya membuat Adi melamunkan berbagai produk aerosport. Lamunan itu kemudian dituangkannya dalam bentuk sketsa-sketsa yang digambarnya dengan menggunakan program Corel Draw. Adi memperlihatkan berbagai desainnya pada rekan-rekan yang berprofesi sebagai flight engineer di Merpati dan mereka rata-rata adalah lulusan ITB. Mereka bilang itu bisa terbang dan dia dianjurkan untuk menggambar desain menggunakan program AutoCAD yang memang dirancang untuk gambar teknik tiga dimensi. Begitulah secara otodidak, Adi yang berlatar pendidikan Akutansi-Fekon Unpad ini pun mempelajari tehnik menggambar,merealisasikan rancangan dibantu oleh penjahit handal, dan lahirlah berbagai jenis parasut plus berbagai kelengkapan untuk keperluan parasailing, paragliding, paralayang, dan paramotor. Inner-outer bag, ranseltempat membawa berbagai jenis parasut, juga dibuat sendiri, bahkan parasut cadangan untuk para penerjun payung juga tak luput dari jamahan kreatifitasnya.

Sebelum dilempar ke kalangan penggemar aerosport, berbagai peralatan harus melalui serangkaian fligh test untuk mengetahui daya apung maupun aspek safety-nya. Bahkan putranya,Bimo, yang saat itu masih duduk di bangku

[caption id="attachment_135057" align="alignright" width="300" caption="Ceria merealisasikan mimpi (doc WS)"][/caption] SMP pun pernah dilibatkannya sebagai penguji,”Sekali diajari, selanjutnya dia sudah bisa terbang sendiri.” Kata Adi seraya bercerita sekilas tentang putranya yang setelah SMA didaulat untuk menjadi atlet gantolle oleh FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) Banten dan DKI itu. Selain Bimo,Adi juga memiliki Fathia yang masih duduk di bangku SMP. Sekarang ini di sela-sela aktifitasnya mengelola perusahaan, Adi masih memiliki harapan untuk bisa menularkan ilmu dan mimpinya seluas mungkin.

“Saya ingin membuat semacam workshop dimana orang bisa belajar membuat desain parasut,membuat patrun, memahami tehnik menjahit...memahami karena teknisnya penjahitan materi parasut bisa diserahkan pada penjahit profesional.”Tutur Adi,”Selanjutnya ya melakukan flight test.”

Meski tak memiliki lisensi flight master, Adi memiliki sudah memiliki jam terbang ratusan kali menerbangkan orang dengan parasut-parasut buatannya. Dia berujar,”Di area Puncak sana ada seseorang yang tidak memiliki lisensi namun semua orang mengakui kemampuannya menangani aktifitas aerosport, termasuk menguji sebuah peralatan layak terbang atau tidak.” Bagi Adi learning by doing sebagaimana yang telah dilakoninya selama ini adalah kiat terbaik dalam menekuni aktifitas olahraga dirgantara karena dengan begitu,orang bisa merasakan langsung resiko yang harus dihadapi.

Saat ditanya mengenai peluang jatuh atau cedera lainnya,”Namanya juga extreme sport,resiko cedera pasti ada hanya tak sebesar terjun payung karena paralayang, kan, parasutnya sudah mengembang dari bawah.” Dia memperlihatkan jejak luka di kakinya yang pernah patah saat melakukan tandem flying (beberapa orang melayang dengan satu parasut – pen.),”Landasannya memang tidak rata dan orang yang saya tandem salah posisi ketika mendarat akibatnya dia jatuh menimpa saya dan...krak!” Adi tersenyum sekilas menceritakan dia terpaksa ‘libur’ terbang selama sembilan bulan gara-gara kecelakaan itu.

Peluang ekonomis bisnis parasut, menurut Adi, juga sangat luar biasa,”Pasarnya luas dari mulai mereparasi peralatan aerosport yang rusak, penjualan parasut, mengadakan acara paralayang tour, dan sejenisnya.”Paparnya,”Persaingan juga belum terlalu ketat karena minim sekali orang yang ‘bermain’ di bidang ini.”

Saat berkunjung ke kediaman Adi di sekitar kawasan Kelapa Gading-Jakarta Utara, di lantai dua dan tiga terdapat satu mesin jahit plus berbagai material untuk pembuatan parasut yang diperolehnya dari Pasar Tanah Abang atau hasil berburu ke Bandung. Ternyata peralatan membuat parasut-parasut itu tak serumit dugaan karena bahan utamanya adalah keberanian untuk merealisasikan angan-angan ditambah keuletan menjalani prosesnya. Bahkan Adi juga pernah dikontak oleh user dari negeri yang berminat pada hasil karyanya itu dan beberapa FASI dari berbagai daerah juga sudah mengutarakan niat untuk memesan beberapa produk buatannya. Namun tanggung jawab Adi yang relatif pada perusahaan yang tengah dikelola membuat dia terpaksa vakum dari hobi yang mendarah-daging itu sembari mencari individu-individu yang dinilainya mampu didukungnya untuk mewujudkan mimpi memenuhi dirgantara dunia dengan parasut-parasut berkualitas buatan Indonesia.

[caption id="attachment_135059" align="aligncenter" width="732" caption="Tarik, lepas landas, dan mengangkasa...(doc Adi)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline