Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Al-Qur’an Bukan Legitimasi Penelitian Ilmiah!

Diperbarui: 17 Maret 2016   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kandungan Al Qur'an sudah tak memerlukan revisi sampai ke akhir jaman kelak (dok WS)"][/caption]

Trend mengaitkan berbagai hasil penelitian ilmiah tentang berbagai obyek dengan ayat-ayat Al-Qur’an menurut asy-Syahid Sayyid Quthb dalam buku fenomenalnya Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menunjukkan adanya sebuah pemahaman yang keliru tentang kedudukan Kitabullah itu. Al-Qur’an tidak diturunkan sebagai buku panduan ilmu kedokteran, biologi, antariksa atau ilmu-ilmu parsial lainnya.

Teori-teori keilmuan yang muncul sebagai hasil hipotesa yang kemudian diuji kebenarannya dalam serangkaian penelitian tidaklah bersifat final, artinya senantiasa akan mengalami perubahan seiring munculnya kontroversi ilmiah yang lumrah terjadi dimana sebuah teori menjadi gugur dengan munculnya teori baru yang dinilai lebih valid. Perubahan pemikiran, berkurang atau bertambahnya esensi hasil penelitian merupakan suatu kelaziman dalam koridor kebenaran ilmiah.

Kebenaran ilmiah yang sangat bergantung pada kualitas percobaan,kondisi saat percobaan dilakukan, dan kualitas peralatan yang digunakan tentu saja sangat jauh derajatnya kalau harus dibandingkan dengan kandungan Al-Qur’an. Sayyid Quthb menulis,”Saya heran terhadap kesederhanaan orang-orang yang bersemangat berusaha menisbatkan pada Al-Qur’an hal-hal yang berasal dari luar kitab ini atau merujukkan sesuatu yang sama sekali bertentangan dengan maksud (yang termaktub dalam) Al-Qur’an. Juga orang yang mengeluarkan darinya bagian-bagian dari ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu falak, dan sebagainya; seakan-akan dengan cara ini mereka hendak mengagungkan dan membesar-besarkan Al-Qur’an.”

Jika manusia berorientasi pada meneliti, mencoba, dan menerapkan sebuah teori sebagai bagian istimewa dari kerja akalnya; maka fokus Al-Qur’an justru terletak pada membangun sang manusia itu sendiri. ‘Membangun’ di sini dalam pengertian membangun kepribadian, hati nurani, dan akal pikiran manusia yang selanjutnya dengan mentolerir manusia untuk mempergunakan potensi yang dimiliki sebaik-baiknya, Al-Qur’an akan menginisiasi pembangunan masyarakat. Setelah membangun manusia yang sehat pandangan hidup, pikiran, dan perasaan; maupun masyarakat yang baik untuk melakukan aktifitas sosial yang baik pula maka selanjutnya Al-Qur’an mempersilahkan manusia berkiprah dalam penelitian dan percobaan di berbagai bidang ilmu yang hasilnya bisa saja benar atau salah.

Singkatnya, hakikat kandungan Al-Qur’an sudah bersifat final dan sampai kapan pun takkan ada lagi revisi yang diperlukan untuk menyempurnakannya hingga menggantungkan isyarat-isyarat umum dalam Al-Qur’an pada berbagai pencapaian ilmiah yang akan selalu berkembang sejalan dengan meningkatnya kecerdasan manusia adalah sebuah kekeliruan metodologis yang sangat fundamental.

Kekeliruan di atas menurut pemikir besar, konseptor pergerakan Islam ulung di abad 20 yang juga seorang syuhada itu berpotensi menimbulkan degradasi pemahaman prinsipil tentang keagungan Al-Qur’an, setidaknya dalam tiga cara:

Pertama, terbentuknya pencitraan dalam pikiran sebagian orang bahwa ilmu pengetahuan itulah yang terpelihara, sedangkan Al-Qur’an hanya mengikutinya saja. Akibat dari kekeliruan pemikiran ini,sebagian orang berusaha keras untuk memantapkan Al-Qur’an memakai ilmu pengetahuan parsial padahal Kitabullah itu sudah sempurna tema-temanya dan final hakikat-hakikatnya. Padahal sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, kebenaran ilmiah itu akan senantiasa berubah.

Kedua, munculnya kesalah-pahaman terhadap karakter dan fungsi Al-Qur’an. Keberadaan Al-Qur’an dimaksudkan Rabb untuk membangun manusia sesuai dengan tabiat alam semesta dan undang-undang Ilahi. Manusia diharapkan dapat mengetahui sebagian rahasia alam dan menggunakan hukum-hukum alam untuk menjalankan kekhalifahannya di bumi.

Ketiga, menyebabkan terjadinya penakwilan terus menerus secara dipaksakan terhadap nash-nash Al-Qur’an hanya semata agar dapat menjejalkannya pada ketentuan-ketentuan atau teori-teori yang tidak pasti karena akan senantiasa ada penemuan-penemuan baru yang bisa sewaktu-waktu menggugurkan teori tersebut.

Namun,menurut Sayyid Quthb, uraian di atas bukan merupakan penghalang bagi umat Islam untuk melakukan serangkaian percobaan dan penelitian ilmiah untuk memperluas serta memperdalam pemahaman tentang sebuah obyek hanya saja jangan menggunakan nash Al-Qur’an sebagai latar belakang (background ) sebuah teori.

Sebuah teori bahwa kehidupan berasal dari sebuah sel tunggal yang kemudian membelah diri sedemikian rupa hingga terciptalah manusia lalu untuk legitimasinya kita ‘seret’ QS Al-Mu’minuun : 12 yang menyatakan.”Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah”. Tentu saja ini merupakan langkah yang keliru karena kemudian teori tersebut masuk dalam arena perdebatan ilmiah dimana semua penelitian pada akhirnya gagal menemukan penyebab terciptanya sang sel tunggal yang pertama. Padahal Al-Qur’an dengan kebenaran finalnya bertujuan membimbing manusia pada satu titik sasaran, yakni asal-usul kejadian manusia itu sendiri tanpa embel-embel yang lain.

Bercermin pada perkembangan Teori Darwin yang dikemukakan lebih dari 150 tahun lalu dimana para peneliti akhirnya sampai pada sebuah fakta bahwa Darwin sendiri gagal menemukan bukti-bukti nyata tentang evolusi yang berdasarkan pada perubahan total satu spesies tertentu menjadi spesies lain yang betul-betul baru.

Ada banyak spesies hewan maupun tanaman yang menyalahi pola evolusi yang digagasnya karena memiliki karakteristik jauh berbeda dari spesies-spesies terdahulu. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Darwin dan kemudian dilanjutkan oleh para pendukungnya ratusan tahun kemudian senantiasa berujung pada kegagalah menemukan penyebab terjadinya kehidupan karena mereka mati-matian mengingkari keberadaan Causa Prima, Sang Penyebab Utama segala bentuk kehidupan di alam semesta. Sementara Al-Qur’an sendiri sudah menjawab hal itu sejak awal bahwa keberadaan mahluk adalah merupakan buah kehendak Khalik. Fakta yang kebenarannya akan selalu diakui sepanjang masa oleh manusia yang mau dengan jujur mendengarkan fitrah hati nuraninya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline