[caption id="attachment_282874" align="aligncenter" width="448" caption="Agus dan Revita telah melalui masa kritis mereka (dok AA)"][/caption] Ketika hasil diagnosa seorang anak menyatakan dia positif menderita cerebral palsy, maka itu menyerupai kiamat kecil bagi kedua orangtuanya. Cerebral palsyadalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi dimana terjadi kerusakan pada satu atau lebih bagian spesifik tertentu di otak saat anak masih dalam kandungan atau bisa juga terjadi sebelum, selama, maupun beberapa lama paska persalinan yang mengakibatkan dia tak mampu menggerakkan otot-otot tubuh tertentu sebagaimana mestinya. Anak-anak penderita cerebral palsy mengalami kesulitan yang sangat besar untuk dapat berjalan, bicara, makan, atau bermain seperti rekan-rekan sebayanya yang lain. Banyak orangtua yang begitu terpukul mendapati kondisi anak yang sedemikian memilukan hingga terjerumus dalam penyangkalan diri (self denial) hingga alih-alih berjuang mencari solusi, mereka malah repot menggali berbagai argumen pembelaan diri. Memang bukan hal yang mudah menerima anugerah seorang anak yang berkebutuhan khusus, namun keikhlasan menjalani kondisi tersebut akan mengantarkan orangtua pada sebuah pencapaian yang layak untuk disyukuri. Setidaknya begitulah yang dialami pasangan Agus Basuki Yanuar dan Revita Tantri saat putra kedua mereka Edwin Makarim (16 tahun) dinyatakan positif cerebral palsy pada usia tiga tahun.
Sesuai rujukan dokter, Agus dan Revita kemudian membawa putra mereka menjalani sejumlah terapi yang harus dilakoni secara intensif tanpa terputus selama periode waktu yang panjang. Terapi tersebut meliputi terapi okupasi, terapi sensori-integrasi, terapi fisio-motorik, dan terapi wicara yang kesemuanya itu ditujukan untuk merangsang tubuh agar dapat berfungsi pada level optimal tertinggi yang mampu dicapai anak. Satu hal yang harus diperhatikan adalah terapi cerebral palsy menuntut partisipasi aktif orangtua atau pengasuh untuk berperan sebagai terapis anak di rumah. Tanpa itu terapi takkan membuahkan hasil.
Kondisi tersebut di atas mendorong pasangan Agus-Revita untuk melakukan langkah dramatis yang bertentangan dengan pakem tradisional dimana suami berperan sebagai pencari nafkah dan istri mengelola rumah tangga. Pada tahun 1999, Agus memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai Sales Director di PT WI Carr Securities Indonesia agar bisa total menjalani terapi bersama Edwin dan mengijinkan istrinya untuk terus berkarir serta menjadi breadwinner bagi keluarga.Keputusan yang tidak populer ini tentu saja mengundang respon beragam, ada yang memaklumi namun tak sedikit yang mencemooh.
Agus dan Revita bertekad untuk menjalani keputusan mereka dengan penuh tanggung jawab karena mereka menyadari karir yang melambung setinggi langit pun takkan cukup berharga kalau mesti dibayar dengan mengorbankan masa depan anak-anak yang merupakan amanah Tuhan pada mereka. Perjalanan dari satu klinik terapi ke klinik terapi lainnya selama tiga tahun berturut-turut telah membuat Agus mampu menangkap sebuah gejala yang kurang kondusif. Anak-anak yang begitu ketakutan saat berhadapan dengan para terapis (ini mungkin karena sebagian terapis menganggap lumrah bersuara keras/membentak atau sentuhan fisik/pukulan ringan sebagai bagian dari terapi) dan kondisi tempat terapi yang sangat tidak nyaman memberikan beban psikologis tersendiri bagi para orangtua yang mengantar anak-anak mereka. Ditambah lagi, berbagai terapi yang harus dijalani penderita cerebral palsy tersebar di beberapa lokasi hingga sangat melelahkan fisik dan mental anak maupun orangtuanya.
Fenomena di atas membuat Agus berangan-angan untuk mendirikan sebuah tempat terapi yang lebih menyenangkan dan berkonsep satu atap untuk semua jenis terapi yang harus dijalani anak-anak berkebutuhan khusus. Kesungguhannya larut dalam terapi telah menghantarkan Edwin menjadi sosok anak yang haus belajar dan menyadari bahwa kelambanannya menyerap berbagai pelajaran bisa diatasi dengan berusaha lebih banyak serta lebih keras dibanding teman-teman sebayanya yang tidak menderita cerebral palsy. Kian mandirinya Edwin membuat Agus memutuskan untuk kembali bekerja sebagai Manajer Investasi di PT BNI Securities pada tahun 2002 dan lima tahun berikutnya, tahun 2007,sebagai Presiden Direktur PT Samuel Aset Manajemen.
[caption id="attachment_282876" align="aligncenter" width="560" caption="Edwin kini menebar inspirasi tak hanya bagi orangtuanya (dok RTY)"]
[/caption]
Namun aktivitas bisnis yang padat tak melunturkan impian Agus untuk memiliki sebuah tempat terapi satu atap yang menyenangkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka bisa bermain sambil belajar membentuk diri menjadi individu mandiri. Maka Agus menggandeng istrinya Revita, yang menjabat sebagai Commercial Supply Chain PT Unilever Indonesia, untuk merealisasikan gagasan tersebut. Demikianlah bertepatan dengan ulang tahun Edwin ke-13, tanggal 18 November 2008, berdirilah Rumah Belajar Persada (RBP) yang berlokasi di Tamansari Persada Raya Blok XVII No 5-9 Jatibening Baru Bekasi.
Pasangan ini juga melibatkan para orangtua, terapis, dan guru yang memiliki keperdulian tinggi pada pengembangan potensi anak dengan berbagai kondisi fisik maupun mental untuk ikut mengelola RBP. Multi terapi cerebral palsy atau kebutuhan khusus lainnya yang meliputi terapi wicara,okupasi, sensori-integrasi, brain-gym,touch for health (TFH), dan rhythm movement training (RMT) dapat dilakukan di sini. Selain itu anak-anak berkebutuhan khusus pun dapat menggali dan mengembangkan potensi seni mereka dengan mengikuti Terapi Melukis di bawah bimbingan Pak Alianto, seorang pelukis-pendidik berpengalaman yang mengembangkan penguasaan seni serta didaktika secara otodidak.
Daya tarik RBP lain adalah adanya program bimbingan bagi anak-anak agar bisa belajar menyukai kegiatan membaca dalam suasana yang ceria dan menyenangkan. Bagi pasutri yang sibuk berkarir dan memiliki anak yang berminat belajar bahasa Inggris, mereka bisa mengikuti program English For All Ages yang memungkinkan anak-anak belajar dalam grup-grup kecil selama orangtua mereka bekerja. Sejak 2010, RBP juga diberi kepercayaan sebagai penyelenggara Homeschooling Kak Seto untuk cabang Jatibening.
Namun RBP tidak hanya menyentuh anak-anak, Agus-Revita menekankan fungsi idealnya sebagai arena belajar non formal aneka ketrampilan untuk hidup (life skill) bagi seluruh anggota keluarga. Seminar dan mini seminar dengan berbagai topik bahasan dari mulai perencanaan keuangan sampai berbagai isu pendidikan diselenggarakan secara teratur setiap hari Sabtu dengan sasaran usia remaja sampai dewasa.
I can do it, begitu motto RBP yang digagas Agus. Dia menekankan kata do (mengerjakan) sebagai kunci bagi setiap anak untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Apapun keinginan itu, yang penting adalah kualitas usaha untuk mencapainya. Agus tidak hanya berkata kosong, dia telah menjalani konsep itu dan mewujudkannya. Empatinya pada anak-anak penyandang cerebral palsy telah menjadi pupuk bagi RBP hingga tumbuh menjadi tempat terapi yang direkomendasikan oleh banyak dokter. Tak ada penyesalan bagi Agus karena kerelaannya menjadi bapak rumah tangga selama tiga tahun, begitu pula bagi Revita yang melepas kesempatan menggiurkan untuk bertugas di Singapura dan Inggris agar bisa lebih optimal mendukung keluarga. Edwin yang semakin mandiri dan mampu bergaul secara wajar dengan kakak-adiknya serta di lingkungan sosial yang kian luas adalah berkah yang sangat berharga untuk senantiasa disyukuri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H