Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Menambal Ibadah dengan Nawafil

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat jalan raya yang tidak pernah sepi dari aktifitas para penggunanya hingga wajar bila suatu ketika mengalami retakan-retakan kecil yang membesar menjadi rangkaian lubang bahkan bisa meluas jadi kubangan kerbau andai tak segera diatasi. Begitu pula yang terjadi pada ibadah fardhu. Entah karena alasan menganggap sepele atau kejenuhan rutinitas. Hingga acapkali kita melakukannya sekedar untuk menggugurkan kewajiban dan mengabaikan kualitasnya.

Padahal ibadah fardhu adalah jalan alias shirath yang harus dilewati sepanjang usia untuk menggapai keridhaan Rabb Azza wa Jalla agar eksistensi kita sebagai mahluk senantiasa selamat dan sejahtera. Jalanan yang berlubang harus segera ditambal dan diperbaiki untuk menghindari terjadinya kecelakaan fatal. Degradasi ibadah fardhu pun hendaknya ditanggulangi dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah tambahan sesuai teladan Rasul Saw.

Kedudukan ibadah fardhu dan sunnah dalam pandangan Allah Swt tergambar dengan indah pada hadis qudsi berikut :

Dan tidak ada amalan yang bisa memperdekat hambaKu denganKu melebihi keaktifannya menjalankan kewajiban yang telah difardhukan. Dan senantiasa hambaKu berusaha memperdekat dirinya kepadaKu dengan melakukan yang sunnah-sunnah (nawafil) hingga Aku mencintainya.’ (HR Bukhari).

Ada banyak ragam ibadah nawafil yang dicontohkan oleh Rasul Saw, antara lain berbagai shalat tambahan selain shalat fardhu lima waktu. Imam Al-Ghazali dalam kitab Asrarush-Shalah mengemukakan bahwa shalat nawafil terbagi menjadi tiga bagian; yakni sunnah, mustahab (disukai, dianjurkan), dan tathawwu’ (sukarela).

Shalat sunnah ialah shalat tambahan yang selalu dikerjakan oleh Rasul Saw secara rutin semasa hidup seperti shalat-shalat rawatib, Dhuha, Witir, Tahajud, dan sebagainya. Sementara shalat mustahab meliputi semua shalat yang telah sampai kepada kita riwayat-riwayat keutamaan dan besar pahalanya namun tidak rutin dikerjakan oleh Nabi Saw (shalat mingguan, shalat akan keluar atau masuk ke dalam rumah, dan sebagainya). Sedangkan shalat tathawwu’ tidak ada dalam hadis-hadis Nabi Saw dan dilakukan secara sukarela oleh seorang hamba semata-mata karena ingin bermunajat dengan Allah swt tanpa terikat oleh tempat dan waktu (selama bukan waktu terlarang untuk shalat seperti bada Subuh hingga masuk Dhuha dan bada Ashar sampai matahari terbenam sempurna).

Ibadah tambahan untuk menyempurnakan puasa wajib Ramadhan pun ada banyak pilihan; yakni puasa nabi Daud (sehari puasa, sehari tidak), Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan Hijriah (tanggal 13, 14, 15), puasa Syawal enam hari, puasa Arafah (9 Zulhijjah, bagi mereka yang tidak sedang berhaji), puasa 8 hari sebelum Arafah (1-8 Zulhijjah), Tasu’a(9 Muharam), Asyura’ (10 Muharam), dan puasa pada bulan-bulan yang diuuliakan (Muharam, Rajab, Zulhijjah, Zulkaidah), dan puasa Sya’ban.

Adapun shalat dan puasa tambahan yang diutamakan dapat merujuk pada kutipan hadis di bawah ini :

Shalat yang paling utama setelah shalat maktibah (wajib) adalah shalat pada tengah malam (tahajud). Dan puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Muharam’ (HR Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Ibadah zakat pun memiliki semacam nawafil dan sebagaimana diriwayatkan oleh Talhah bin Ubaidillah r.a. bahwa seseorang bertanya pada Rasul Saw,”…’Apakah ada kewajiban lain selain membayar zakat?’ Nabi Saw menjawab,’Tidak ada, tetapi engkau dapat menmgeluarkan sebagian hartamu karena Allah (dan akan diperhitungkan sebagai perbuatan baik / mendapatkan pahala)’…” (dikutip dari M Atiqul Haque dalam Jejak-jejak Hadis).

Apapun ibadah nawafil yang akan dipilih, kunci utamanya adalah konsistendan kontinyu, sedangkan kuantitas atau jenisnya disesuaikan dengan kapasitas kesanggupan masing-masing. Terlalu sedikit berarti kikir pada diri sendiri karena hakikat berbuat baik adalah untuk keuntungan para pelakunya, sementara terlalu banyak kuatir akan memberatkan dan bisa memicu timbulnya rasa bosan hingga kita gagal menjaga kelangsungannya. Allah Swt sendiri telah menggariskan,’Hendaklah kamu beramal menurut kemampuanmu karena sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kamu sendiri yang merasa bosan.” (HR Abu Daud).

Lakukan dengan kemampuan maksimal dan kreativitas yang tinggi dalam menumbuhkan semangat baru untuk menjaga kesinambungan pejalanan terbaik menuju husnul khatimah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline