Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Awas, Snobisme Saat Mudik!

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik lebaran adalah hajat yang selalu dinantikan oleh para perantau yang terpaksa meninggalkan kampung halaman untuk berburu nafkah, belajar, atau alasan-alasan lainnya. Antusiasme yang begitu meluap membuat sebagian besar mereka tidak segan-segan mengerahkan segenap daya dan dana untuk mensukseskan ritual tahunan tersebut.

Silaturahmi dengan orangtua dan sanak keluarga serta lingkungan pertemanan di daerah asal serta hasrat mulia berbagi rezeki yang telah dikumpulkan selama merantau merupakan alasan utama bagi para perantau untuk mudik. Namun ada alasan lain yang malu-malu menyelinap dalam hati dan, entah disadari atau tidak, seringkali merupakan pemicu terkuat bagi seseorang yang akan pulang kampung. Yakni menampilkan diri sebagai orang sukses di mata para sanak saudara dan orang-orang terdekat.

Usaha penyewaan mobil dan garmen yang omsetnya melejit tinggi saat menjelang momen mudik lebaran boleh jadi merupakan refleksi besarnya hasrat masyarakat untuk tampil ‘bagus’ dan bossy. Tumpukan oleh-oleh dan royalnya membagi-bagi angpao disinyalir memperkuat anggapan tersebut. Apakah itu salah?

Sebenarnya tak ada yang salah dalam upaya mencitrakan diri sebagai seseorang yang berhasil, malah kalau hal itu dilakukan secara proporsional bisa menjadi semacam sugesti positif pendongkrak semangat kerja. Namun kalau untuk itu kita harus mati-matian tampil sebagai ‘orang lain’ dengan menutup sepenuhnya jati diri asli hingga kehilangan unsur relaksasi saat bersilaturahmi dengan lingkungan sosial di kampong halaman, maka sama saja dengan ‘bunuh diri’.

Upaya ‘membeli’ simpati dan penghargaan orang lain dengan barang atau uang pada akhirnya hanya akan menyusahkan diri sendiri, apalagi kalau untuk menutup anggarannya dilakukan dengan menambah limit kartu kredit atau jenis hutang-hutang lainnya. Bisa-bisa saat masih lelah seusai mudik, kita sudah harus berjibaku menghadapi para kolektor. Bayangkan kalau kesengsaraan semacam itu berlarut-larut dan akhirnya ‘bocor’ ke kampung halaman. Musnah sudah citra sukses yang dibangun dengan segala cara dan betapa besar kesusahan yang mesti ditanggung oleh orangtuaatau keluarga lain saat mendengarnya.

Lebih aman kalau kita bisa menerima diri sendiri apa adanya, mensyukuri apa yang sudah dimiliki, dan berbagi dengan sesama murni karena keinginan untuk meringankan beban kehidupan orang lain tanpa embel-embel ingin dipuji atau semacamnya. Juga saat memilihkan hadiah bagi orangtua, fokuslah pada susah payah mereka saat membesarkan dan mendidik kita hingga menjadi seperti sekarang. Dengan begitu kita akan sadar bahwa semahal apapun hadiah yang diberikan tetap tak akan mampu membayar lunas budi yang sudah ditanamkan orangtua dalam diri kita. Jadi saat menyambangi ayah-ibu, hanya rasa syukur dan penuh terima kasih yang menyertai. Bukan keangkuhan semu layaknya seseorang yang akan melunasi hutang.

Seseorang yang nyaman dengan dirinya sendiri akan menularkan aura yang sama pada orang-orang di sekitarnya. Mungkin tak ada ekspresi mengagumi yang berlebihan atau sanjungan bernada menjilat yang akan dia dapatkan, tapi respon jujur dari masyarakat di kampong halaman akan membuat jiwanya lebih lapang dan santai karena dia bisa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tanpa harus terus menerus mengenakan topeng.

Selamat menikmati mudik!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline