[caption id="" align="alignleft" width="400" caption="...berlomba dengan ceria...(google pictures)"][/caption] Balap karung adalah salah satu cabang lomba 17 Agustusan yang cukup populer di masyarakat hingga saat ini. Pesertanya harus membungkus tubuh dari mulai kaki sampai ke pinggang dengan sehelai karung goni lalu berjuang adu cepat mencapai garis finis dengan cara melompat-lompat sebisanya sambil memegangi bagian atas karung agar tidak melorot.
Sepanjang keberadaannya sebagai sebuah bangsa, sejak masih berbentuk embrio pergerakan lokal suku-suku di Nusantara sampai sekarang dalam usianya yang telah mencapai 65 tahun, Indonesia tidak kunjung henti melakoni balap karung. Bedanya dengan lomba Agustusan, balapan yang ini menerapkan sistem estafet antar generasi dan melakukan penggantian jenis karung yang digunakan seiring dengan tuntutan keadaan. Bukan hanya itu, garis finisnya pun selalu mengalami penyesuaian mengikuti dinamika sosial dan politik yang terjadi.
Karung pertama yang digunakan oleh bangsa Indonesia saat masih embrio merupakan pemberian paksa dari para pendatang yang berasal dari Portugis, Belanda, Jepang, dan Inggris. Karung berlabel penjajahan ini dinilai paling berat dan menyusahkan. Hidup tertindas sebagai sapi perahan bangsa lain selama ratusan tahun bukanlah situasi yang diinginkan oleh bangsa mana pun. Maka ditetapkanlah, secara sepihak oleh para pendekar bangsa di masa itu, garis finis pertama yang hendak dicapai : Kemerdekaan.
Perjuangan sepenuh jiwa dari segenap lapisan penduduk pun akhirnya membuahkan pertolongan [caption id="" align="alignright" width="300" caption="...mereka adalah masa depan Indonesia...(google pictures)"] [/caption] dari Yang Maha Kuasa. Pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diwakili oleh duo Sukarno – Hatta, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Maka karung penjajahan yang sudah sangat tua itupun ditanggalkan dan diganti dengan karung mempertahankan kemerdekaan.
Karung baru ini dianyam dengan darah para pejuang bangsa di berbagai pertempuran melawan negara-negara eks penjajah –Belanda dan Inggris- yang rupanya belum rela melepaskan taring-taring eksploitasi dari nadi negeri yang kekayaan alamnya melimpah-ruah ini. Adalah peristiwa 10 Nopember 1945 saat pasukan gabungan Inggris, Gurkha, dan Belanda membombardir Surabaya dengan persenjataan lengkap berhadapan dengan pemuda-pemuda Indonesia yang bermodal bambu runcing serta senjata-senjata ala kadarnya hasil rampasan dari tentara Jepang. Perang sengit berlangsung selama tiga minggu dan nenek moyang kita berhasil mempertahankan Surabaya sekaligus kemerdekaan bangsa. Berikutnya ada Pertempuran Ambarawa (20 Nopember – 15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (23 Maret 1946), dan Pertempuran Medan Area yang berlangsung sampai Agresi Belanda I pada Juli 1947.
Karung mempertahankan kemerdekaan dikenakan oleh bangsa Indonesia yang masih balita itu sampai 27 Desember 1949 saat digelar upacara pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian kemerdekaan pun telah utuh dan saatnya karung baru dikenakan : Mengisi kemerdekaan.
Karung mengisi kemerdekaan dijalin dengan babak-belur perjuangan bangsa ini mendewasakan diri melalui berbagai pergantian rezim pengelola bangsa; dari mulai Orde Lama, Orde Baru dan sekarang ini Orde Reformasi. Begitulah, sampai hari ini kita masih mengenakan karung mengisi kemerdekaan yang diwariskan oleh generasi Sukarno-Hatta. Finisnya?
Saya memilih garis finis yang dideskripsikan oleh Kitabullah sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur – negara sejahtera yang penuh kebaikan dan limpahan ampunan dari Rabb. Lantas bagaimana strategi untuk dapat berlari dalam karung dengan selamat dan mencapai finis yang dimaksud? Seorang pahlawan pemberani yang berakhlak mulia memiliki jawabannya :
‘Jadikanlah (nilai-nilai) agama itu sebagai benteng bagi negaramu dan syukur sebagai penjaga nikmatmu. Maka setiap negara yang dibingkai oleh (nilai-nilai) agama tidak akan terkalahkan dan setiap nikmat yang dijaga oleh rasa syukur tidak akan bisa dirampok (hilang)’
Demikianlah ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. dan saya sependapat dengannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H