Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Idul Adha: Momen Revitalisasi Pengorbanan Para Prajurit TNI

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Saat Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertiwikrama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 pada masa dimana kekuatan kolonial Belanda yang sempat terusir dari Tanah Air selama periode pendudukan Jepang (1942-1945) berupaya untuk menancapkan kembali kuku-kuku penjajahan mereka. Perubahan nama itu, disadari atau tidak, sesungguhnya merefleksikan harapan mayoritas bangsa ini akan keberadaan sosok ‘tentara’ (figur yang mumpuni dalam olah kemiliteran/keprajuritan ) yang diharapkan dapat memberikan ‘keamanan’ (kondisi psikologis bebas dari rasa takut akan tekanan/intimidasi) pada ‘rakyat’ (warga yang mendiami kawasan) Indonesia.

Pada hakekatnya harapan tersebut tetaplah lestari tanpa terpengaruh oleh perubahan-perubahan nama berikutnya paska TKR, dari mulai Tentara Rakyat Indonesia (TRI) sampai menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 3 Juni 1947 hingga sekarang. Artinya harapan mayoritas masyarakat Indonesia di era reformasi ini terhadap tentara mereka masih sama dengan nenek moyang di jaman revolusi, yakni dapat memberikan rasa aman.

Ada banyak perangkat yang disiapkan oleh para perintis TNI untuk dapat memenuhi harapan besar tersebut. Salah satunya sejumlah panduan moral yang idealnya menjadi pedoman setiap anggota TNI lintas pangkat dalam menjalankan fungsi/tugas mereka sebagai perisai bangsa; yaitu Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI. Sapta Marga pada dasarnya adalah bentuk ikrar ketaatan anggota TNI sebagai ksatria yang menjalankan sepenuhnya pengabdian bagi bangsa maupun NKRI, Sumpah Prajurit menekankan loyalitas pada atasan dan lembaga, sementara Delapan Wajib TNI mengatur etika berinteraksi dengan masyarakat yang idealnya berada di bawah pengayoman mereka.

Delapan Wajib TNI selengkapnya berbunyi sebagai berikut

Demi Allah saya bersumpah / berjanji :

1.Bersikap ramah tamah terhadap rakyat.

2.Bersikap sopan santun terhadap rakyat.

3.Menjunjung tinggi kehormatan wanita.

4.Menjaga kehormatan diri di muka umum.

5.Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya.

6.Tidak sekali-kali merugikan rakyat.

7.Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat.

8.Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya

Alangkah indah dan menyentuh hati, bukan? Andai segenap anggota TNI lintas pangkat lintas matra dapat memenuhi kedelapan kewajiban tersebut, maka betapa mesra hubungan rakyat-TNI yang bisa terjalin dan betapa solid keutuhan negeri ini dapat terlindungi dari berbagai bentuk ancaman yang bias sewaktu-waktu hadir dari berbagai penjuru. Lantas bagaimana fakta aktualnya?

Keberadaan oknum-oknum prajurit yang menjadi beking alias bodyguard di tempat-tempat hiburan malam, arena-arena perjudian, atau zona-zona lokalisasi pelacuran sudah menjadi rahasia umum yang bahkan akhirnya tayang juga di berbagai media massa. Mereka ditengarai mayoritas berasal dari kalangan pangkat terendah, yakni dari Tamtama sampai Bintara.

Sebagian pengamat militer menilai tumbuh suburnya praktek-praktek beking semacam itu berpangkal pada rendahnya kesejahteraan para prajurit TNI. Berbeda dengan kalangan perwira yang mendapat tunjangan jabatan dan pemasukan tambahan lainnya, para prajurit level bawah harus bisa hidup mengandalkan gaji pokok yang seringkali tidak mencukupi. Per Mei 2014, gaji prajurit Tamtama berkisar Rp. 1.476.600 – Rp. 2.659.800 dan Bintara mendapat Rp. 1.889.900 – Rp. 3.622.400 yang bila dikaitkan dengan kewajiban mereka menafkahi anak-istri dari mulai sandang pangan sampai pendidikan dan kebutuhan lain … yah, terbayang seberapa sakti otak plus ketabahan mereka harus berakrobat agar survive sampai gaji berikutnya. Padahal tupoksi mereka sedemikian beratnya…

Maka momen perayaan ulang tahun TNI yang ke-69 yang bertepatan dengan Idul Adha tahun ini seakan menegaskan bahwa sebagai sosok Ksatria harapan bangsa, sebagai Prajurit profesional, dan sebagai Pengayom Masyarakat; setiap anggota TNI berkewajiban memenuhi ikrar kesetiaan mereka dalam Sapta Marga, Sumpah Prajurit, maupun Delapan Wajib TNI all at cost. Mereka harus memenuhi janji yang senantiasa diperbaharui ulang dari satu upacara ke upacara berikutnya tanpa peduli seberapa minim fasilitas hidup yang harus mereka dan keluarga terima.Jalan Ksatria memang bukan jalan yang menawarkan gelimang kemewahan namun karena mereka sudah memilihnya sebagai jalan hidup, maka prajurit TNI tak punya pilihan : Jalan terus memikul kehormatan dengan mengorbankan banyak kepuasan pribadi atau banting setir ke jalan lain yang lebih ringan tantangannya….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline