Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Putusan Monumental Legal Hakim Sarpin Rizaldi

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Putusan hakim Sarpin merupakan putusan yang monumental (landmark decision) yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan” Ungkap Prof Dr Romli Atmasasmita SH, LLM. , pakar hukum senior yang juga Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana , dalam tulisannya yang berjudul Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan (Koran Sindo, 23 Februari 2015).

Lebih lanjut Romli menulis bahwa secara teoritis, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum (rechtsvinding ) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat (di sini Romli mengacu pada pemikiran pakar hukum Mochtar Kusumaatmadja, -pen.), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).

Keputusan Sarpin untuk mengabulkan sebagian permohonan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG)  terhadap KPK  di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  pada 16 Februari 2015 lalu dengan  memvonis bahwa penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap BG adalah  tidak sah itu memang terbilang melawan arus. Opini publik yang sudah mengerucut berpihak pada KPK  dan memberikan tekanan psikologis dengan berbagai cara, termasuk lewat posting-posting di media sosial, agar majelis hakim menolak gugatan BG. Saat putusan majelis ternyata tak sesuai harapan, maka Sarpin pun menjadi bulan-bulanan kecaman massa dari berbagai kalangan baik dari sesama kolega hukumnya maupun dari masyarakat awam yang sudah terlanjur memberikan porsi simpati dominan pada KPK.

Terlepas dari benar-tidaknya keputusan yang diambil oleh Sarpin secara hakiki, kita harus memberikan apresiasi tersendiri pada keberaniannya ‘mengecewakan’ masyarakat dengan resiko dihujat habis-habisan oleh berbagai kalangan bahkan dia harus menjalani investigasi dari Komisi Yudisial untuk itu dengan resiko pemecatan. Lantas pertimbangan apa yang membuat Sarpin membuat keputusan kontroversial tersebut?

Posisi Romli sebagai saksi ahli dari pihak BG saat dia berinteraksi dengan Sarpin di pengadilan dan fakta bahwa dia pernah tersandung kasus korupsi bersama yang menyebabkan dirinya harus rela menjalani hidup di penjara selama satu tahun pada periode 2009-2010 lalu mungkin membuat orang bersikap skeptis pada opininya yang memihak hakim tersebut, namun dengan mempertimbangkan  perannya sebagai arsitek pembentukan KPK bahkan mengetuai tim dari mulai persiapan sampai penyusunan UU KPK serta konsistensinya untuk terus mengawasi kinerja KPK agar tetap berada dalam koridor hukum yang benar, pendapatnya sebagai salah satu pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia layak untuk disimak dan dipertimbangkan secara proporsional.

Di mata Romli, sebagaimana tertulis dalam opininya, semua pertimbangan hukum yang melandasi putusan Sarpin menunjukkan bahwa hakim senior tersebut memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana kita ketahui bersama pertimbangan hakim Sarpin untuk memenangkan gugatan BG yang paling populer  dibahas di media sosial adalah pernyataan bahwa BG bukan penegak hukum dan penyelenggara negara saat kasus korupsi yang diusung KPK terjadi  dan itu berarti tak memenuhi kualifikasi (untuk ditetapkan sebagai tersangka tipikor, -pen.) sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK .

Kriteria ‘bukan penegak hukum’ ditetapkan Sarpin atas BG (Kompas.Com, 16 Februari 2015) berdasarkan fakta bahwa  kasus tipikor yang dituduhkan padanya terjadi saat BG menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) Deputi SDM Polri periode 2003-2006 yang merupakan  jabatan administrasi eselon IIa. Jabatan administasi, seperti juga polisi yang menjadi pengajar di Akademi Kepolisian, memang tak tergolong penegak hukum karena yang bersangkutan tak punya wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penangkapan. Sementara ‘bukan penyelenggara negara’ karena predikat itu hanya disandang oleh mereka yang berada di jenjang eselon I dan, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (Merdeka.com, 16 Februari 2015),  kewenangan  KPK menyidik tipikor berlaku untuk pejabat eselon I ke atas.

Apapun pendapat  Romli tentang putusan hakim Sarpin, ada sebuah pernyataan dalam tulisannya yang layak kita renungkan bersama, yaitu “Semua warga Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji yang selalu dilakukan oleh LSM antikorupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi dalam demokrasi yang berdasarkan  Pancasila dan UUD 1945…”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline