Lihat ke Halaman Asli

Restorative Justice, yang kecil Dihakimi yang Besar Dilindungi

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum paling aneh di dunia cumu di Indonesia, Why? KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) & UUD (Ujung Ujung'nya Duit).Indonesia sedang galau atas vonis hukuman M Rasyid Amrullah Rajasa yang dirasa tidak setimpal dengan tindakan yang melibatkan dirinya yaitu Kecelakaan terjadi di tol Jagorawi Kilometer 3, Jakarta Timur, Selasa (1/1/2013) pagi, menewaskan dua orang dan delapan orang lain terluka.

Kalau ditanya pendapat saya apakah saya setuju dengan vonis yang diterima Rasyid ?. Jawaban saya tidak setuju!. Tapi sayangnya tidak ada yang menanyakan kepada saya, apalagi meminta persetujuan . Saya juga bukan ahli hukum yang bisa ikut memberi opini yang valid tentang kecocokan pasal pasal mana yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan hukuman kepada Rasyid.

Yang bisa saya katakan adalah bahwa pada akhirnya kita semua akan menerima setimpal dengan apa yang kita perbuat. Kalau tidak menerimanya di dunia ini, ya tentu ada pengadilan tertinggi yang tidak dapat dibantah keadilannya, yaitu pengadilan yang menghadirkan Tuhan sebagai hakimnya.

Bercermin dengan apa yang telah dilakukan saudara Rasyid, plus akibat akibat hukumnya, maka saya ambil hikmahnya saja untuk  disyukuri, dipertimbangkan, sekaligus menjadi rem dalam tindakan tindakan hidup saya.

Disyukuri ?. Ya, melihat kasus Rasyid, saya bersyukur sekali memiliki ayah seperti ayah saya. Tidak bergelar professor, Doktor, dan memegang jabatan di Pemerintahan, tapi mampu mengajarkan kepada saya lewat perbuatan dan tanggung jawab  bahwa mencelakai orang, melakukan tindakan berbahaya apalagi dapat menghilangkan nyawa orang lain tidak boleh dan berdosa di mata Tuhan. Ayah saya juga tidak cakap di depan kamera dengan kata kata tinggi yang susah dipahami masyarakat biasa, apalagi ditambah dengan selipan peribahasa dan terminologi bahasa Inggris yang bagi sebagian masyarakat Indonesia tidak dapat dimengerti. Ayah mengajari saya dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti dan tidak memerlukan kamus untuk memahami,  yaitu Bahasa Keteladanan. Tidak cakap di depan kamera bukan berarti ayah tidak cakep (for me my father was the most handsome man in the world)

Renungkan ? Ya, setau saya restorative justice selama ini juga lebih diwacanakan untuk kasus yang melibatkan anak-anak. Tujuannya, agar anak-anak tidak menghabiskan masa kecilnya di lapas. Anehnya, ketika untuk anak-anak saja masih wacana, restorative justice sudah digunakan untuk Rasyid yang umurnya 22 tahun. " Namun sulit diterima oleh nalar akal sehat, ketika kasus Rasyid dibandingkan dengan seorang anak yang mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson Sipayung , Perbuatannya diancam hukuman 5 tahun penjara, ancaman hukuman yang sangat fantastis dengan perbuatannya, terlebih jika disandingkan dengan kasus Rasyid yang menewaskan dua nyawa. Apa ini tidak aneh?

Saya merenung juga soal kepintaran atau kepandaian yang merupakan anugerah Tuhan. Tidak, saya tidak mengatakan saya pandai, tapi yang pasti saya tidak bodoh, karena masih mampu menulis danberkarir. Saya berfikir seharusnya penerapan prinsip restorative justice dalam sistem peradilan di Indonesia tidak hanya diterapkan kepada anak pejabat. Menurut saya, landasan hukum yang sama juga harus diberikan kepada warga biasa pada kasus yang sama, agar tidak melukai rasa keadilan publik.

Rem ? Ya, bercermin dari kisah Rasyid, Saya jadikan juga sebagai rem supaya memiliki Alphard dan BMW tidak perlu saya tuliskan dalam daftar keinginan pribadi saya. Konstruksi hukum pada kasus Rasyid sejak awal penanganannya memang terbilang "istimewa" bila dibandingkan dengan kasus-kasus yang hampir serupa. Rasyid, pascakecelakaan maut di tol tidak pernah ditahan oleh pihak kepolisian, bahkan hingga kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Banyak alasan yang memperkuat anak menteri ini untuk tidak menjalani tahanan. Mulai dari alasan sikap Rasyid yang kooperatif hingga alasan Rasyid mengalami trauma dan harus menjalani terapi di RS Pertamina Pusat. Keistimewaan yang melahirkan kejanggalan juga terletak pada proses penanganan perkara Rasyid Rajasa yang ekstra kilat. Itu karena hanya dalam waktu 11 hari, polisi melimpahkan berkasnya ke kejaksaan dan dalam waktu 1,5 bulan kasus ini sudah diproses di pengadilan. Namun kecepatan itulah yang akhirnya membuat penanganan perkara Rasyid tidak sesuai dengan SOP dan menyebabkan BAP Rasyid Rajasa menjadi sangat lemah. Bahkan begitu istimewanya, Jaksa Penuntut Umum seperti tidak berdaya menegakkan hukum pada anak besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu; termasuk hakim yang dalam posisi ini memutuskan hukuman.

Inilah hukum kita, hukum yang hanya menjadi tegak bagi orang-orang kecil dan menjadi lemah bagi yang berkuasa. Entah di mana moral penegak hukum yang ternyata kualitasnya tak lebih dari budak-budak kekuasaan. Kasus ini membuktikan kalau hukum itu ibarat pisau yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum begitu tajam untuk menghantam kaum yang tidak berdaya dan masyarakat kecil, tapi seolah tiada hukum ketika berkaitan dengan pemilik uang dan kuasa. Jika begitu, persamaan di muka hukum hanya omong kosong.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline