Lihat ke Halaman Asli

Ruang Singgah

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku harus menghabiskan kopi dalam gelas ini. Aku janji, ini gelas terakhir untukku. Aku harus meminumnya supaya tetap terjaga. Dan kau tak menjawab. Namun tak apa. Aku tak begitu suka dengan kata-kata, kecuali jika kau mau menghadirkannya sebagai jawaban, bukan lagi-lagi pertanyaan. Aku terus menggerayangi diammu. Mungkin kau tidur. Aku tak tau. Satu jam sudah. Kau masih diam. 'Kututup telepon. Tak ada keluhan darimu. Kau tidur. *** Tak masalah bagimu ketika ada jarak angka yang tak memungkinkan bagi kita. Bukan masalah juga bagiku. Tetapi ketika kau terlalu sering bertanya tentang esensi, aku jadi ragu. Bukankah manusia akan lebih memilih bahagia daripada harus tersiksa dalam kurungan tanya? "Hujan ya?" tanyamu. Dengarkan. Aku menyukai hujan, dan suka sekali bermimpi tentang semua yang ada di dalamnya. Mengertilah. Jika kemudian aku menuliskannya, aku suka ketika orang-orang mulai melayang-layang dalam kalimat-kalimat yang aku tulis. Sadarlah. Ini tak ada hubungannya denganmu. Ini tentang apa yang 'kusukai. *** Tentu aku mengerti hatimu. Hatimu juga hatiku. Benarkah aku? Maka, harusnya kau tak perlu bertanya. Hmmm... Mungkin hatiku bukan hatimu. Maka kau perlu bertanya. Tentu. Tapi, maaf. Aku sudah pernah memberitahukanmu 'kan, bahwa aku kurang suka dengan kalimat tanya? Tadinya aku masih bernafsu melumat buku yang baru 'kubeli kemarin. Tapi sudut mataku tiba-tiba menyadari sesuatu yang lebih menarik. Airmata menggelayut di ujung bulu matamu, kemudian jatuh tepat di titik huruf "i" dalam kata "faith" yang tertulis di atas t-shirtmu. Bagiku, lelaki menangis adalah hal yang indah luar biasa. Andai bisa mengabadikannya dengan gambar bergerak. Dizoom tepat pada butiran airmatamu, mulai dari masih berbentuk genangan di bola mata hingga merembes ke dalam serat-serat t-shirtmu. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang bisa menenangkanmu. Tetapi aku ragu, betulkah kau membutuhkannya? *** Aku lapar. Sop kambing pas sekali dengan cuaca begini. Lalu kau membelikannya, mengantarkannya, dan melihatnya dilahap habis oleh perutku. Lalu kau pamit pulang. 'Kupikir kau mau ikut makan. Aku jadi kekenyangan. Lama kau memandang wajahku yang belum 'kucuci sejak bangun tidur pagi tadi. Aku berpikir tentang apa yang kira-kira kaupikirkan. Aku berharap kau memelukku. Hangat untuk di cuaca begini. Tidak kau lakukan. Aku jadi ingat, kau pernah memelukku di siang bolong, kala matahari sedang terik-teriknya. Bukannya membelikan aku es krim. Membuatku makin kepanasan. Keringatmu dan keringatku bertukar rumah. Gerah! Tapi kau bilang, "Nikmat sungguh." Kau ini aneh. Kau pulang. *** Mata kita berbincang dengan jarak tak sampai sejengkal. Mataku, "Aku tidak mencintaimu. Aku hanya merasa nyaman di sini." Menunjuk dadamu. Matamu, "Aku tau. Aku, sih, mencintaimu." "Mmmmm... Tetapi, tolong... ...Izinkan aku menikmati matamu yang basah dan bibirmu yang juga basah sekali lagi, biarkan aku mengajarimu cara menjilati desahan nafasku sekali lagi, lalu bersama-sama kita mempelajari bahasa rasa yang masih saja memiliki tanda tanya dengan dua pilihan yang sama pilunya." "Tidak," katamu tegas berbarengan dengan yang 'kuucapkan dalam hati, "Tidak." Kita tersenyum. Aku berdiri. Siap untuk pergi. Terima kasih. Untuk ruang singgah yang kau sediakan dengan amat rapi. __________ *Kamarku yang berantakan, Jakarta, 20-21 Januari 2010: rumit. **terima kasih karena telah menginspirasi: YP, EP, dan RI.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline