Lihat ke Halaman Asli

Open Minded: Toleransi atau Hate Speech yang Tersembunyi?

Diperbarui: 4 Juli 2022   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Kata atau istilah open minded saat ini menjadi trend di kalangan Millenials dan Gen-z yang ada di sosial media. Istilah ini dikenal sebagai sikap terbuka, memahami, dan menoleransi sudut pandang, pendapat, dan perilaku orang lain tanpa menjudge serta tanpa memaksa pendapat kita sendiri. 

Pada kajian kognisi sosial psikologi, istilah ini dikenal dengan kognisi berpikiran terbuka yaitu gaya kognitif dari bagaimana individu memproses informasi. 

Studi tentang kognisi 'open minded' mencerminkan perhatian inti dalam psikologi sosial. Penelitian disonansi kognitif mendokumentasikan adanya perhatian selektif dan bias penghindaran selektif yang memungkinkan individu untuk mempertahankan sikap mereka sebelumnya (Cooper, 2007). 

Penelitian ini mengkonseptualisasikan kognisi berpikiran terbuka sebagai gaya kognitif yang mempengaruhi bagaimana individu memilih dan memproses informasi. 

Gaya kognitif berpikiran terbuka ditandai dengan kesediaan untuk mempertimbangkan berbagai perspektif intelektual, nilai, pendapat, atau keyakinan---bahkan yang bertentangan dengan pendapat individu. Tingkat keterbukaan kognitif individu diharapkan bervariasi di seluruh domain (seperti politik dan agama).

Sayangnya, pemahaman mengenai open minded pada masyarakat Indonesia masih kurang bahkan masih banyak yang belum mengerti makna dari istilah ini sehingga banyak terjadi kesalahan interpretasi, bahkan makna istilah menjadi berubah. 

Open minded diartikan menjadi membenarkan segala sesuatu terlepas apakah hal tersebut benar atau salah. Arti open minded menjadi paradoks. Ketika ada pihak yang tidak menyetujui sebuah pendapat, maka pihak tersebut akan dicap salah, intoleran, dan tidak humanis. 

Orang dengan pemahaman paradoks ini cenderung berkiblat pada arus liberalisme dan akan mencela orang-orang yang menentang liberalisme atau orang dengan budaya ketimuran dianggap konservatif, kolot, dan lain-lain.

Contohnya pada topik mengenai cara berpakaian wanita. Di Indonesia sendiri, Indonesia memiliki kearifan budaya yang beragam serta aliran kepercayaan variatif. Kedua aspek ini secara berdampingan mengatur tingkah laku dan adat masyarakat. 

Mayoritas masyarakat Indonesia memakai pakaian yang sopan dan tertutup. Namun, karena adanya paradoks open minded yang sangat membela freedom of choice akan mendewakan orang-orang dengan prinsip berpakaian terbuka, meminta masyarakat untuk menghargai atau toleransi terhadap pilihan mereka. 

Namun, feedback yang mereka lakukan justru mengolok-olok orang yang berpakaian tertutup bahkan mengatakan bahwa model berpakaian tertutup termasuk kolot, berbahaya, tidak 'kekinian', dan banyak lagi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline