Kekerasan dan pelecehan seksual tentunya menjadi sebuah hal yang saat ini masih belum bisa lenyap. Bahkan, beberapa tahun kebelakang tampaknya kita masih sering mendengar kasus kekerasan dan pelecehan seksual semakin meningkat. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di kampus juga santer terdengar. Sebagai contoh, kasus ini datang dari Universitas Riau yang menyatakan bahwa dekan FISIP melecehkan mahasiswanya. Ada juga kasus kekerasan seksual oleh dosen UNJ kepada mahasiswanya, bahkan alumni juga turut memberikan kesaksiannya menjadi korban pelecehan dari dosen tersebut. Bahkan pada tahun 2020 lalu, 53% laporan yang masuk ke Komnas Perempuan merupakan kasus kekerasan seksual. Data lain oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga mencatat, bahwa pada tahun 2022 lalu, kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus, yang dimana jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Dari sekian banyaknya kasus, KemenPPPA juga mencatat bahwa kekerasan dan pelecehan seksual paling banyak terjadi berasal dari bangku perkuliahan. Beberapa waktu lalu, banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus yang muncul di media sosial. Kasus-kasus viral tersebut memiliki persamaan, yaitu mereka merupakan korban yang pernah melaporkan kepada pihak yang berwajib, namun tidak diusut tuntas. Untuk mencari keadilan, mereka kemudian menembus jalan lain, yaitu dengan memviralkannya di media sosial. Kasus-kasus yang kemudian viral itu hanyalah sebagian kecil dari kasus yang terjadi di Indonesia, lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang tidak viral, bahkan ketika korban tidak berani berbicara dan melapor?
Seringkali korban tidak berani melapor karena pandangan sekitarnya. Apa pakaian yang saat itu ia kenakan? Apa perilaku yang ia tunjukkan saat itu? Bagaimana gerak-geriknya ketika melewati pelaku? Apakah dia juga menikmati pelecehan yang ditujukan kepadanya? Seringkali pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian timbul di lingkungan. Padahal, bukan pakaian korban yang seharusnya diubah. Bukan perilaku korban yang seharusnya diamati. Bukan korban yang seharusnya diselidiki, seharusnya pelakulah yang dihakimi. Pelakulah yang seharusnya diselidiki, cara pandang dan pola pikir dangkal pelakulah yang seharusnya diubah.
Tidak hanya pandangan sekitar, seringkali korban merasa kecil hati karena pengusutan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib. Saat ini, banyak kampus yang mulai aware tentang pentingnya satgas PPKS yang melayani kasus-kasus tersebut. Namun sayangnya, proses penyelidikan yang memakan waktu membuat korban juga kemudian merasa sia-sia. Apalagi jika ujung-ujungnya berakhir damai. Contohnya kasus yang terjadi di UNESA beberapa waktu lalu, dimana pelaku malah mengancam melaporkan balik si korban, atau kasus pelecehan yang terjadi di Makassar yang berakhir dengan damai. Penyelesaian kasus secara damai ini amat merugikan korban dan menguntungkan pelaku. Mengapa demikian? Damai saja tidak cukup, padahal menghilangkan trauma tidak semudah membalik tangan. Trauma yang timbul akan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyembuhannya, padahal tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku akan terus melancarkan aksinya.
Kampus sudah sepantasnya menjadi tempat yang bebas dari pelecehan seksual. Seperti yang sudah disematkan oleh beberapa kampus, label ‘Kampus Merdeka’ tidak hanya tentang pembelajarannya, namun juga kampus yang merdeka dari kekerasan dan pelecehan seksual. Sudah sepantasnya kampus-kampus di Indonesia memberi pemahaman kepada mahasiswanya mengenai bahaya kekerasan dan pelecehan seksual, seperti melalui seminar, webinar, atau sekadar pemakanaan yang diadakan di kelas. Kemudian, dengan diadakannya penanaman pemahaman tentang bahayanya tersebut, apakah lantas menjadikan kampus bebas pelecehan seksual?
Dengan banyaknya kasus yang terjadi, tentu saja penanaman pemahaman tentang kekerasan dan pelecehan seksual tidak serta merta menghempas segala kasus yang terjadi. Jika hanya mengandalkan pemahaman tentang kekerasan seksual kepada mahasiswa, kekerasan seksual pasti sudah punah sejak lama. Kita tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain, bagaimana pola pikir masing-masing setiap orang, dan kita tidak bisa mengendalikannya. Hal yang dapat dilakukan hanyalah memangkas kehadiran pelaku pelecehan seksual, di mana penanaman moral diselipkan di setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan di kampus untuk memberi tahu kepada publik bahwa kekerasan dan pelecehan seksual merupakan sebuah ancaman yang tak hanya akan merugikan korban, namun juga dapat merugikan pelaku dan nama baik kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H