Lihat ke Halaman Asli

Sabita Khadiqoh

Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Sistem Pengukuran Kinerja dalam Lingkungan Perbaikan Berkelanjutan: Hambatan terhadap Efektivitasnya

Diperbarui: 17 Desember 2024   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Memahami Hambatan dalam Sistem Pengukuran Kinerja

Artikel ini mengupas kompleksitas sistem pengukuran kinerja (Performance Measurement System atau PMS) dalam lingkungan perbaikan berkelanjutan, terutama pada era Revolusi Industri 4.0 (I4.0). Sebagai seorang pemerhati filsafat sains, saya terkesan dengan bagaimana penelitian ini menyatukan konsep-konsep abstrak seperti keberlanjutan dan efisiensi dengan realitas pragmatis organisasi modern. Pada intinya, temuan ini menggarisbawahi bahwa efektivitas PMS kerap terhambat oleh sejumlah faktor: dari pemilihan indikator yang tidak relevan hingga budaya organisasi yang tidak mendukung.

Salah satu poin menarik adalah penggunaan pendekatan "6M"—metode, material, mesin, pengukuran, manusia, dan budaya—untuk mengkategorikan hambatan tersebut. Dalam konteks filsafat sains, kerangka ini mencerminkan pandangan reduksionis yang memecah masalah kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana. Namun, apa yang benar-benar mencuri perhatian saya adalah bagaimana elemen-elemen ini saling berinteraksi, membentuk jaringan penyebab dan akibat yang sangat erat.

Ketika data real-time semakin melimpah di era I4.0, organisasi sering kali terjebak dalam "kelebihan data," di mana terlalu banyak informasi menghambat pengambilan keputusan yang cepat dan akurat. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kemajuan teknologi saja tidak cukup. Tanpa pengelolaan data yang bijaksana, alat yang canggih justru dapat menjadi penghambat, bukan solusi.

Implikasi untuk Masyarakat dan Dunia Kerja

Dalam kacamata masyarakat luas, temuan penelitian ini memiliki dampak signifikan. Hambatan dalam PMS tidak hanya relevan bagi organisasi besar, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih mendasar dalam penerapan teknologi modern di berbagai bidang. Misalnya, kesenjangan antara indikator kinerja yang diukur dengan realitas kebutuhan manusia dapat dilihat sebagai cerminan dari masyarakat yang semakin berorientasi pada angka, tetapi sering kehilangan substansi. Ini berisiko menciptakan budaya yang mengutamakan hasil instan dibandingkan proses yang bermakna.

Budaya organisasi menjadi aspek lain yang perlu dicermati. Artikel ini menyoroti bagaimana "budaya menyalahkan" atau kurangnya dukungan manajemen atas dapat melemahkan efektivitas PMS. Dalam skala lebih luas, ini menjadi pengingat bahwa inovasi teknologi hanya akan berhasil jika didukung oleh perubahan budaya yang mendasarinya. Filosofi ini berlaku tidak hanya untuk organisasi, tetapi juga untuk masyarakat yang beradaptasi dengan teknologi digital dan otomatisasi.

Revolusi Industri 4.0 menjanjikan efisiensi dan kemajuan, tetapi juga menuntut refleksi tentang bagaimana kita mengelola data dan teknologi secara etis. PMS, dengan segala hambatannya, adalah contoh konkret bagaimana manusia dan mesin harus bersinergi, bukan bersaing.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline