Lihat ke Halaman Asli

sabit

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Nusantara Bandung

Harusnya Kita Begitu, Malah Kita Begini

Diperbarui: 21 Agustus 2023   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sudah tidak asing lagi dengan seorang jalaluddin rumi, seorang sufi terbesar Persia. Sehingga Banyaknya syair-syair yang mempengaruhi manusia.

Tentunya kita bukan sedang memuji rumi. Namun sosok rumi, yang begitu memukau di mata para filsuf, penyair, budayawan, dan tentu saja kita.

Ada tulisan rumi yang paling menarik bagi saya untuk kita renungkan dalam bait ke 2737 Matsnawi, "Bersama Muhammad cinta temukan pasangan. Sebab cinta jualah Tuhan berfirman: Laulaka." Kata allah dalam Hadist Qudsi, "Laulaka! Seandainya bukan karenamu (wahai Nabi Muhammad), tak akan Aku ciptakan semesta ini."

Makan dengan itu, muka bumi tidak akan mulia terkecuali lantaran ia kecipratan cahaya Nabi. Karenannya, kita melakukan berbagai daya dan upaya untuk kecipratan, dengan meladani akhlaknya, bersholawat padanya, merayakan maulidnya, bersenandung syair tentangnya, dan apapun itu.

Nabi adalah manusia teragung yang disebut sebagai insan kamil, manusia sempurna. Sedangkan kita adalah manusia yang hina dina, sarat akan lupa, khilaf, salah, dan lain sebagainya.

Segabaimana pun Nabi adalah manusia biasa seperti kita. Hikmahnya agar kita tak punya alasan bahwa kita tidak bisa meneladani nabi karena ia seorang nabi yang berbeda denga kita. Makanya, di sisi lain Al-Qur'an menegaskan Nabi diciptakan seperti kita, agar bisa dijadikan teladan. Dan memang Allah mengutusnya salah satunya sebagai teladan yang agung bagi umat manusia.

Namun ada perbedaan antara kita dan Nabi. Minimal ada 3 perbedaan mendasar, yang pertama adalah bahwa Nabi selalu melihat kebaikan ditengah keburukan. Nabi selalu mencari secercah cahaya di tengan kegelapan. Nabi selalu focus pada kelebihan di tengah kekurangan. Karenanya, ia selalu optimis.

Kedua, pandangan Nabi selalu berorientasi mempersatukan. Salah satu yang paling awal Nabi lakukan adalah mempersatukan Muslim Muhajirin dari Mekkah dan Muslim Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah, begitu pula ketika membentuk Piagam Madinah, dalam klausulnya, Nabi mempersatukan Muslim dan non-Muslim di bawah satu konstitusi (piagam madinah) yang memandang setara semua orang, apapun agamanya.

Jika kita tidak menemukan alasan untuk bersatu denga orang lain, baik itu karena agamanya, karena imannya, atau lainnya, maka cukup persamaan kita sebagai sesama manusia menjadi landasan untuk bersatu, berangkulan, dan menjalin persaudaraan.

Yang ketiga, Nabi senang melihat orang senang, dan susah melihat orang susah. Al-Qur'an menyatakan, berat terasa olehnya penderitaanmu, dalam surah Al-Taubah [9] ayat 128. Dan lanjutan ayat tersebut  Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Karenanya Nabi menghabiskan malamnya untuk memikirkan cara untuk menyelamatkan kita di dunia dan akhirat, dan menjalankan berbagai cara di siang hari agar kita mengikitu jalannya. Untuk apa? Untuk dia? Tidak! Tapi, agar kita bahagia di dunia dan akhirat. Karena ia susah melihat kita susah dan senang melihat kita senang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline