Lihat ke Halaman Asli

Guru Ngaji

Diperbarui: 12 Februari 2016   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Anak-anak kita ulang sekali lagi ya, Ngaji-nya yang bener, Biar orang tuanya bangga” Ucap seorang guru ngaji yang berhati lembut dan berperangai indah. Tutur katanya selalu manis, dan yang dilakukannya selalu indah.

“Iyaaaa Pak” Jawab muridnya serempak.

Setelah mengajar di TPA (Taman Pendidikan Alquran) di musalla sederhana di samping rumahnya, Dia tak akan langsung pulang. Setelah muridnya sepi, pekerjaan keduanya pun akan dimulai—merapikan musalla yang berantakan karena ulah murid-muridnya yang belum tahu benar tentang arti kerapian lantaran umur mereka yang masih belia. Dia, sang guru ngaji yang lembut sekali prilakunya, tak pernah marah dengan murid-muridnya. Ia selalu tersenyum.

Hari itu, sungguh kegamumanku padanya telah semakin berlipat. Kuselami keindahan perangainya yang penyayang. Jalannya yang teguh pada jalan yang lurus, ucapannya yang selalu jujur, dan keteguhan hatinya pada yang benar, walau pun terkadang Ia melewatkan banyak rupiah karena kejujurannya. Tapi Dia, tak pernah menyesal dengan yang dilakukannya. Baginya,menjadi guru ngaji, jauh lebih indah dan tinggi derajatnya.

Pernah sekali waktu, Ia mendapat amanah dari seorang yang dermawan, yang menyerahkan uang padanya dalam jumlah nominal yang besar. Orang yang sungguh dermawan itu berpesan, agar uang itu di sampaikan ke pengurus musalla, mudah-mudahan bisa digunakan renovasi musalla.

Lalu tak lama dari itu, datanglah pengurus lain kepadanya. Mengajak sang guru ngaji itu untuk berkompromi dalam jalan yang nista. Sang guru ngaji yang teguh hatinya menolak dengan lembut.

“Saya malu dengan peci saya, malu dengan murid-murid TPA saya” katanya berucap.

Pria bengis yang juga sedang menggunakan peci hitamnya itu, tetap tak mau menyerah. Sang guru ngaji terus di rayu, agar mau turut serta dalam langkah gelap dengannya.

“Sedikit saja kita ambil dari uang sumbangan itu, cukuplah untuk keperluan rumah tangga kita” bujuknya.

“Kamu juga baru menikahkan?, emangnya kamu nggak mau punya rumah sendiri?, nah uang itu sudah lebih dari cukup untuk uang muka” lanjutnya merayu.

“Maaf Bang, saya tetap nggak bisa. Sama sekali dalam uang ini nggak ada hak kita Bang.” Lanjut sang guru ngaji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline