Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Saya Keluar dari PKS?

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HARUSKAHSAYAKELUARDARIPKS?

Saya mengenal PKS sekitar tahun 2003 dan saat itu saya telah selesai kuliah S1. Tanggal dan bulan pastinya saya sudah lupa. Tak tercatat dalam diari yang memangtak kupunya dan tak terekam dalam file memoriku meski tak lupa ingatan.Sebelum mengenal PKS saya bisa lebur dengan siapa pun. Dengan teman peminum hingga penjudi, meski saya lebih banyak akrab dengan orang-orang shaleh tapi tak mengenal tarbiyah.

Sebelum mengenal PKS saya sudah shalat lima waktu meski kadang terlewatkan dan tanpa sedikit pun penyesalan meninggalkannya. Puasa Ramadhan pun rajin, meski dalam ingatanku pernah membatalkan puasa diam-diam tanpa diketahui siapa pun, dan tanpa alasan yang syar’i.

Perkenalanku dengan PKS, sangat tak disengaja. Ketika sebuah aktivitas yang kemudian menggiringku ke sebuah tempat rental komputerdan di lorongitu banyak sekali kader muda PKS yang berseliweran. Mungkin terlalu lebay jika saya katakan bahwa saya jatuh hati pada sapaan mereka, senyum mereka, bahkan dari cara mereka berinteraksi dengan orang sekitar termasuk saya.Tapi meskipun kemudian saya banyak jalan dengan kader-kader muda itu, bukan berarti saya telah ‘terhasut’. Bukan! Tapi karena saya orangnya mudah lebur dengan siapa pun.

Awalnya hanya sepele, saya sementara menunggu antrian di rental komputer ketika salah seorangkader PKS yang sering menyapa saya, mengajakku untuk liqo malam itu. Saya sempat bertanya apa itu liqo, tapi kemudian jawaban yang kudapat sangat jauh darikadar memaksa: “Ikut saja, daripada antri lama di situ!” Alhasil, saya pun ikut.

Anehnya, dan sangat jauh dari kebetulan ketika pekan depannya saya dapat giliran rental komputer yang lagi-lagi masuk dalam daftar tunggu dan kader PKS itu lewat lagi dan mengajakku lagi. “Ooohh... liqo itu tiap minggu ya?” Dia mengiyakan pertanyaanku dan kuiyakan juga ajakannya.

Mungkin karena memang awalnya ikut-ikutan, materi liqo yang kudapat pun tak melekat erat. Tapi dari sejak pertama masuk dalam lingkaran liqo, hingga detik ini, tak pernah satu kali punmendapatkan materi yang mengajak kami untuk bermaksiat berjamaah. Tidak pernah! Meski harus kuakui, mungkin setahun lebih perjalanan tarbiyah saya, kebiasaan lama saya masih terus berlanjut. Main domino hingga subuh, merokok (meski belum sempat kecanduan), bahkan mata masih jelalatan.

Hingga perjalanan tarbiyah itu kemudian mengubah hidupku secara perlahan. Meninggalkan semua yang sia-sia danberbau maksiat. Jangankan meninggalkan shalat secara sengaja dan membatalkan puasa diam-diam, bahkan dosa meninggalkan shalat dan membatalkan puasa secara diam-diam itu, selalumeninggalkam sesal yang mendera setiap saya mengingatnya.

Saya tak menganggap diriku bersih setelah dicuci oleh PKS. Tidak! Tapi kelak saat saya bermaksiat kemudian daftardosaku digelar di depan umum, satu pun isi dari daftar dosa itu tak pernahdiajarkan dalam lingkaran liqoku di PKS.

Lalu setelah dengan adanya kotoran sapi yang kemudian menodai PKS, haruskah saya keluar dari PKS? Ya, haruskah? Sementara PKS tak pernah sedikit pun bersalah padaku. Apa yang kudapat di tarbiyah PKS selama ini justru telah menenteramkanku. Hinggapekan kemarin di liqoku, setelah kurang lebih sepuluh tahun ‘melingkar’ tak pernah sedikit punmengajariku untuk bermaksiat. Bahkan ketika menyebut harokah luar PKS kami menyebutnya sebagai saudara atau teman. Samasekali tak pernah dihasut untuk membenci, diajak untuk bermaksiat.

Sekali lagi, haruskah saya keluar dari PKS hanya karena presidennya pakai Rolex sementara saya pun tak mungkin membiarkan diriku terus berjalan kaki lalu kemudian memilih membeli motor dan semoga kelak bisa punya mobil? Amiiinnn J

Saya tahu, akan ada banyak alasan yang kemudian tertulis dalam bentuk komentar di bawah tulisan ini yang menyuruhku keluar dari PKS. Ya, akan banyak komentar yang disertai dengan dalil, atau bahkan mungkin cacian, tapihingga detik ini, jawaban dari judul tulisan ini adalah gelengan kepala. Apakah saya sudah takliq buta? Tapi masalahnya apa yang kudapatkan di tarbiyahku sangat jauhdari tuduhan orang-orang yang menyebut bahwa di lingkaran kami yang ada adalah pembicaraan tentang partai dan partai. Saya pelakunya, Allah saksinya, kurang lebih sepuluh tahun saya di PKS, materi tarbiyahku selalu diawali dengan tilawah, dihiasi dengan tausiyah, belajar menerjemahkan al Qur’an, materi keislaman, bedah buku,dan sama sekali tak pernah kami bersepakat untuk bermaksiat.

Tapi sepahit apapun komentar cacian di bawah tulisan ini kelak, saya tak akan balik komentar. Saya tak bisa berdebat. Dan insya Allah setelah saya keluar dari PKS, saya akan mengabari pembaca dengan judul tulisan: Saya Harus Keluar dari PKS! Tapi insya Allah, jika pun saya keluar, saya tak akan pernah ‘melempari’ rumah yang pernah kutempati berteduh.

Ada yang hampir terlupa. Setelahkurang lebih sepuluh tahun bergabung dengan PKS,tak terhitung berapa kali pilwagub, pilkot, pemilu, saya tak pernah tergerak untuk turun langsung memasang baliho, banner, ataupun bendera PKS di jalan. Tapi setelah badai sapi ini, saya malah tergerak untuk turun ke jalan hingga subuh, hanya untuk melihat bendera PKS tetap berkibar. Mungkin itulah gunanya Allah menurunkan ujian itu untuk PKS, agar saya sebagai kadernyatidak terlena, tidak lengah dalam perjuangan ini. “Ya, kita yang bergabung dalam lingkaran ini adalah pejuang!”begitu kata salah satu murabbiku beberapa tahun lalu dan kini semakin kusadari kebenaran kalimat itu.

***

Kisah belum berakhir. Jika saatnya saya keluar dari PKS, seperti janjiku saya akan mengabari kalian dalam tulisan yang berjudul.: Saya Harus Keluar dari PKS! Saya akan jujur bercerita di dalam tulisan tersebut bahwa saya kalah dalam perjuangan ini, tolong ramai-ramailah masuk  menggantikan saya di PKS! Kata murabbiku, ada atau tanpa saya, dakwah ini akan terus jalan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline