2 Bulan sudah ia menetap di tempat ini, tempat yang tak diinginkan seorang remaja tanggung bernama Ahmad yang terpaksa mengikuti kehendak orang tuanya memondokkan anaknya di pesantren ini. Hari harinya terpaksa ia jalani dengan berat hati.
“apa aku pulang aja ya, kayaknya pondok ini nggak cocok buatku, sungguh aku tak betah tinggal disini!” batinnya ragu tak menentu.
Memang pondok ini termasuk pondok salaf yang setiap hari hanya diisi dengan mengaji dan musyawarah. Bayangkan saja, pengajian kitab dilaksanakan 5 kali sehari selepas sholat maktubah ditambah jam wajib musyawarah dan belajar. Mungkin itu yang menjadi alasan Ahmad tidak betah berlama disini.
**
Seperti hari biasanya. Ada pengajian kitab kuning dengan Mbah Kyai sore itu. Dengan membopong kitab serta bolpoin yang aku selipkan disaku kemejaku, aku mulai berjalan malas-malasan menuju majelis pengajian seolah memang sudah tak ada hasrat untuk mengaji lagi.
Belum sempat aku melepas sandalku, dari kejauhan Nampak seorang lelaki tua mengayuh sepeda ontel yang juga semakin tua menuju kearahku.
Dengan langkah sangat hati-hati, ia senderkan sepeda tuanya itu disamping pohon mangga. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya putih merata, kulitnya keriput dari mulai wajah. Nampak ada rasa kebahagiaan dibalik raut wajahnya yang semakin tua.
“Mungkin mau menjenguk anaknya atau bahkan cucunya yang mondok disini” batinku menebak nebak.
Tapi dugaanku langsung terbantahkan setelah mengetahui bahwa kakek tua tadi ternyata membawa tas kecil berisi kitab yang sama denganku. Ya, dia mengikuti pengajian disini bersama santri lain.
Dengan langkah yang tertatih-tatih kakek tua itu bergegas menuju saka paling belakang dekat dengan pengeras suara, ia keluarkan kitab dan bolpoinnya, dan meletakkan tas kecil disamping meja. Pengajian kitab pun dimulai.