Mengarungi Jeram Polarisasi: Intelijen Strategis bagi Indonesia di Era Baru Paradigma Risiko di Asia Tenggara
Kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara, kawasan yang penuh dengan dinamisme ekonomi dan populasi kaum mudanya, akan menghadapi serangkaian risiko unik yang berpotensi dipicu oleh banyak faktor. Perpaduan persaingan geostrategis, prevalensi digital, dan ancaman kekuatan regional dan global yang memainkan kepentingannya memerlukan kalibrasi progresif pengumpulan dan analisis intelijen strategis.
Berikut adalah pendapat atau pandangan yang dilontarkan oleh Aryasatya Wishnutama, yang menyebut dirinya defense analyst dan strategic thinker.
Lanskap Geopolitik: Pergeseran Poros Dunia
Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan regional dan pernyataan yang dilontarkan terkait status kewilayahan Laut China Selatan memberikan sinyal-sinyal yang perlu dipahami oleh bangsa-bangsa di Asia Tenggara terutama Indonesia. Aliansi tradisional sedang dikaji ulang, dengan negara-negara seperti Vietnam dan Filipina mengupayakan hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat menciptakan jaringan persaingan kepentingan yang kompleks, sehingga menuntut pengumpulan intelijen yang beragam untuk mengantisipasi potensi konflik dan ketidakstabilan regional.
Menurut Aryasatya Wishnutama, "Intelijen strategis mulai berkembang sejak berakhirnya PD II, sehingga pemikir di dunia Barat, AS khususnya, dengan horison kepemimpinan yang dianggap sukses apakah dalam bisnis, pemerintahan dan militer, berpegang pada kapasitas wawasan ke depan, visioning dan berpikir sistematis, motivasi individu yang berbeda dan aliansi strategis antar individu, kelompok dan organisasi."
Di luar ancaman militer konvensional, serangan dunia maya, perang informasi, dan kejahatan transnasional juga menimbulkan tantangan yang signifikan. Organisasi teror juga mahir mengeksploitasi ruang digital di kawasan ini untuk merekrut, meradikalisasi, dan merencanakan serangan. Selain itu, persaingan untuk mendapatkan sumber daya alam dan perubahan iklim juga menimbulkan tantangan jangka panjang. Ancaman jangka panjang yang memiliki implikasi geopolitik, sehingga memerlukan tinjauan ke masa depan yang strategis berdasarkan pengumpulan intelijen yang komprehensif.
Revolusi Digital: Pedang Bermata Dua
Kerap didengungkan kalau Asia Tenggara sedang mengalami revolusi digital, dengan penetrasi internet yang mencapai tingkat tertinggi. Meskipun hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial, hal ini juga menciptakan kerentanan. Platform media sosial dapat dijadikan senjata untuk kampanye disinformasi, memicu ketegangan etnis dan melemahkan keamanan nasional dengan berita palsu dan deepfake semakin memperumit lanskap informasi, sehingga sangat penting untuk memiliki kemampuan intelijen yang kuat untuk membedakan kebenaran dari fiksi.
Di sisi lain, prevalensi digital ini menawarkan jalan baru untuk pengumpulan intelijen. Intelijen sumber terbuka (OSINT) yang diperoleh dari media sosial, outlet berita, dan citra satelit dapat memberikan wawasan berharga mengenai pergerakan politik, sentimen publik, dan potensi ancaman keamanan. Obrolan online dalam bahasa lokal dapat memberikan peringatan dini akan munculnya krisis dan aktivitas ekstremis.
Lebih lanjut A. Wishnutama menyebut "Intelijen strategis semakin relevan dengan konsekuensi dari era informasi modern, dimana diperlukan validasi atas berbagai sumber informasi terbuka dibandingkan dan disandingkan dengan sumber terbatas/ tertutup, yang mana menjadi domain individu atau organisasi spesialisasi intelijen."