Lihat ke Halaman Asli

Sabilla Oktaviano Safitri

Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

Diperbarui: 2 Desember 2024   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edward Coke

            Edward Coke (1552--1634) adalah seorang pengacara, hakim, dan anggota parlemen Inggris yang dianggap sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah hukum Inggris. Lahir di Mileham, Norfolk, Coke menempuh pendidikan di Trinity College, Cambridge, dan dilanjutkan di Inner Temple, salah satu Inns of Court. Kariernya dimulai sebagai pengacara dan segera berkembang pesat, hingga ia diangkat menjadi Jaksa Agung Inggris (Attorney General) pada 1594. Pada masa jabatannya, Coke dikenal karena keahliannya dalam menyusun argumen hukum yang kuat dan komprehensif. Ia kemudian menjadi Ketua Hakim Pengadilan Umum (Chief Justice of the Common Pleas) dan Ketua Hakim Mahkamah Agung (Chief Justice of the King's Bench), di mana ia berkontribusi besar dalam pengembangan prinsip-prinsip hukum yang menjunjung supremasi hukum (rule of law).

                            

            Coke dikenal atas kontribusinya dalam mengartikulasikan konsep-konsep hukum fundamental, termasuk pentingnya actus reus (tindakan) dan mens rea (niat) dalam tindak pidana. Melalui karyanya, terutama dalam Institutes of the Lawes of England dan Reports, Coke menegaskan bahwa hukum pidana harus didasarkan pada bukti objektif tindakan melawan hukum (actus reus) yang disertai niat jahat (mens rea). Ia juga membela gagasan bahwa hukum harus mengikat semua orang, termasuk penguasa, sebagaimana dinyatakan dalam prinsip bahwa "Raja tunduk pada hukum." Pemikiran ini menjadi dasar penting dalam pengembangan hukum pidana modern dan pengaturan hak asasi manusia. Kontribusinya yang monumental terus menjadi rujukan dalam tradisi hukum Inggris dan diadopsi oleh berbagai sistem hukum lainnya di dunia.

            Actus reus adalah istilah dalam hukum pidana yang merujuk pada tindakan fisik atau perbuatan melawan hukum yang menjadi elemen utama dalam suatu tindak pidana. Secara harfiah, actus reus berarti "tindakan bersalah" dalam bahasa Latin. Konsep ini mencakup semua perilaku yang secara objektif melanggar hukum, baik berupa tindakan aktif, kelalaian (omission), atau situasi yang dilarang oleh hukum. Untuk membuktikan adanya actus reus, harus ada hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan akibat yang ditimbulkan, seperti kerugian atau pelanggaran hak orang lain. Elemen ini penting karena memastikan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas tindakan nyata yang terbukti melawan hukum, bukan semata-mata karena niat atau pikiran mereka. 

            Selain itu, actus reus sering kali mencakup berbagai bentuk tindakan, seperti tindakan yang disengaja (misalnya mencuri), tindakan lalai (seperti gagal memberikan perawatan yang diwajibkan secara hukum), atau kepemilikan sesuatu yang ilegal (misalnya narkotika). Pentingnya konsep ini dalam hukum pidana adalah memastikan keadilan, yaitu hanya mereka yang benar-benar melakukan tindakan yang menyebabkan pelanggaran hukum dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam banyak sistem hukum, termasuk hukum pidana di Indonesia, unsur actus reus harus dibuktikan bersama dengan mens rea (niat jahat) untuk memastikan bahwa pelaku memiliki tanggung jawab penuh atas tindakannya. Hal ini menjadikan actus reus sebagai fondasi dalam menentukan legalitas dan keadilan dalam proses peradilan pidana.

            Mens rea adalah istilah dalam hukum pidana yang merujuk pada unsur niat atau keadaan mental seseorang saat melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum. Dalam bahasa Latin, mens rea berarti "pikiran bersalah." Konsep ini menjadi elemen penting dalam menentukan tanggung jawab pidana, karena hukum pidana umumnya tidak hanya menghukum tindakan fisik (actus reus), tetapi juga mempertimbangkan niat atau kesadaran pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya. Mens rea dapat mencakup berbagai tingkat kesalahan mental, mulai dari kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge), pengabaian (recklessness), hingga kelalaian (negligence). Tingkatan ini membantu hakim dan jaksa menilai sejauh mana pelaku bertanggung jawab secara moral dan hukum atas tindakannya. 

            Dalam praktik hukum, mens rea berfungsi untuk membedakan antara tindakan kriminal yang dilakukan dengan niat jahat dan tindakan yang terjadi secara tidak sengaja. Misalnya, dalam kasus pembunuhan, jika pelaku bertindak dengan niat membunuh, hal ini menunjukkan tingkat mens rea yang tinggi, berbeda dengan kasus pembunuhan yang terjadi karena kelalaian. Di Indonesia, unsur niat ini diatur dalam Pasal 338 hingga Pasal 340 KUHP yang membedakan berbagai jenis pembunuhan berdasarkan tingkat kesengajaan pelaku. Dengan demikian, mens rea adalah aspek esensial untuk memastikan bahwa hukuman pidana diterapkan secara adil dan proporsional sesuai dengan keadaan mental pelaku pada saat tindakan dilakukan.

            Korupsi di Indonesia didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Definisi ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3, korupsi mencakup berbagai bentuk tindakan, seperti menyalahgunakan wewenang, menerima suap, menggelapkan uang atau barang milik negara, serta memperkaya diri secara tidak sah yang merugikan keuangan negara. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk menindak pelaku korupsi, baik individu maupun korporasi. 

            Korupsi dalam hukum Indonesia tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai ancaman serius terhadap keadilan sosial, stabilitas ekonomi, dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang memerlukan langkah-langkah penanganan yang tegas dan komprehensif. Pendekatan hukum di Indonesia mencakup pengenaan sanksi pidana berat, termasuk hukuman penjara, denda, hingga penyitaan aset hasil korupsi. Selain itu, upaya pencegahan korupsi terus digalakkan melalui edukasi, transparansi, dan penguatan sistem pengawasan di berbagai sektor pemerintahan dan swasta. Hal ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

            Salah satu kasus korupsi besar di Indonesia yang relevan untuk menganalisis actus reus adalah kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Dalam kasus ini, sejumlah pejabat pemerintah dan anggota DPR diduga terlibat dalam praktik korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun. Tindakan korupsi tersebut mencakup manipulasi proses pengadaan, kolusi dalam penentuan pemenang tender, hingga pembagian uang hasil korupsi kepada berbagai pihak yang terlibat. 

            Unsur actus reus dalam kasus ini dapat dilihat melalui berbagai tindakan fisik yang dilakukan oleh para pelaku. Misalnya, terdapat bukti bahwa proses lelang dilakukan dengan pengaturan tertentu yang melibatkan perusahaan-perusahaan rekanan yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, uang suap dalam jumlah besar didistribusikan kepada sejumlah pejabat negara untuk memastikan kelancaran proyek dan menutupi penyimpangan. Bukti lainnya meliputi dokumen pengadaan, rekaman transaksi keuangan, serta kesaksian dari pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline