Saksi Mata merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen "Saksi Mata" yang dikarang oleh Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan pada tahun 1994 oleh Bentang Pustaka. "Saksi Mata" ditulis SGA berdasarkan keterangan para korban dan saksi mata atas Insiden Dili, 12 November 1991 yang terjadi di Timor Timur.
Saksi Mata menceritakan tentang seorang saksi di pengadilan, Saksi Mata, atas sebuah pembantaian yang disaksikannya. Saksi Mata digambarkan datang ke ruang pengadilan dengan lubang di tempat kedua matanya seharusnya berada -- matanya tidak ada di sana -- dan darah tak henti mengalir dari lubang tersebut. Berdasarkan keterangannya, kedua matanya diambil dengan sendok "untuk membuat tengkleng" dan pelakunya adalah lima orang berpakaian seperti ninja. Hal itu hanya terjadi dalam mimpi, tapi matanya betulan hilang begitu ia terbangun.
Absensi mata Saksi Mata tidak lantas membuat testimoninya invalid. Bahkan, hanya ia yang bersedia bersaksi di pengadilan meskipun ada saksi mata lain. Saksi Mata begitu teguh dalam pendiriannya dan bersedia melakukan apapun demi keadilan. Hakim menjadwalkan pengadilan untuk dilanjutkan esok hari.
Cerita diakhiri SGA dengan mimpi Saksi Mata sepulangnya ia dari pengadilan. Lima ninja itu datang lagi, kali ini mereka mencabut lidahnya dengan catut.
SGA menyatakan dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara bahwa, "Saya ingin orang tahu pasti bahwa konteks tulisan saya adalah Insiden Dili atau situasi Timor Timur." Saksi Mata, sebagaimana pengakuan sang pengarang, merupakan salah satu caranya menyajikan fakta seputar Insiden Dili di luar jalur jurnalistik. Hal ini memberikan konteks pada pembantaian yang terdapat dalam dialog berikut:
"Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?"
"Saya Pak."
"Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?"
"Saya Pak."
"Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?"
Lebih jauh, Saksi Mata menggambarkan permainan kekuasaan ketika tokoh Saksi Mata kehilangan lidahnya sehingga ia tidak dapat bersaksi lagi. Insiden Dili merupakan aib bagi militer Indonesia dan menguak fakta atas kejadian tersebut, meski atas nama keadilan, akan mencoreng nama baik tidak hanya militer, tapi juga pemimpin negara bahkan seluruh Indonesia.