Hari ini, tepat pada tanggal 30 Maret, adalah sebuah hari yang istimewa bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para sineas atau pekerja film di Indonesia. Ya, hari ini merupakan Hari Film Nasional, mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya.
Kenapa, sih, perlu ada peringatan Hari Film Nasional? Alasannya adalah untuk menghargai serta memberi dukungan kepada para pekerja film Indonesia dalam berkarya, sehingga para pekerja film menjadi lebih percaya diri dan semangat dalam meraih prestasi yang kemudian dapat mengangkat derajat perfilman Indonesia.
Namun, sayangnya, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari bahwa menonton film di situs bajakan itu sangat berdampak buruk bagi masa depan industri perfilman Indonesia, khususnya para pekerja film.
Ya, saya masih menemukan teman-teman yang dengan bangga atau tanpa perasaan bersalah membagikan situs film bajakan melalui akun media sosialnya seperti telegram, facebook, dan lain sebagainya.
Sangat tidak disangka, beberapa orang justru menanggapi hal ini dengan wajar, padahal sebenarnya ini sudah termasuk salah satu tindakan kejahatan.
Mereka menganggap bahwa tindakannya itu tidak akan berpengaruh, toh, para aktor dan pekerja film lainnya masih bisa hidup enak dan glamour. Benarkah begitu?
Melalui akun twitter-nya, Joko Anwar mencoba menjelaskan, bahwa kehidupan para pekerja film sebenarnya tak semudah dan se-glamour yang dibayangkan orang, penuh perjuangan di dalamnya, mulai dari waktu istirahat yang tidak teratur, melakukan adegan-adegan yang berbahaya, hingga tak jarang para pemainnya kelelahan dan harus dirawat di rumah sakit.
Ya, cukup mempertaruhkan nyawa dan tanpa kita ketahui sebenarnya banyak film-film yang dibuat dengan proses yang amat serius atau butuh usaha yang cukup keras.
Seperti salah satu contohnya, Lukman Sardi ketika memerankan sosok K.H Ahmad Dahlan. Di sebuah kanal youtube yang dibawakan oleh Vincent dan Desta, Lukman Sardi mengaku cukup kesulitan dalam memerankan sosok K.H Ahmad Dahlan, sebab sosok K.H Ahmad Dahlan bukanlah orang yang banyak meninggalkan tulisan layaknya Bung Hatta sementara untuk mendalami karakter.
Ia perlu mengenal atau mengetahui bagaimana kesan sehari-hari tokoh tersebut dengan data-data yang ada, demi hal itu ia harus pergi ke sebuah perpustakaan di Belanda yang banyak menyediakan buku sejarah Jawa, kemudian ia interpretasikan sendiri berdasarkan apa yang ia baca. Semua itu dilakukan demi menghasilkan karya yang baik dan bisa dinikmati oleh banyak orang.
Bayangkan, dengan segala perjuangan dan keseriusan para pekerja film, masih ada beberapa orang yang tega melakukan pembajakan, yang tentunya sangat merugikan.