Kalian pernah, gak, sih menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai bahkan sudah rusak tapi rasanya sayang sekali untuk dibuang karena merasa barang itu memiliki banyak kenangan atau mungkin alasan kalian menyimpannya hanya sekadar ingin menghargai pemberian dari orang tua, teman, pacar, saudara, dan orang terdekat lainnya, hingga akhirnya barang-barang itu dibiarkan menumpuk di rumah begitu saja.
Jika pernah mengalaminya, kalian pasti akan merasa terwakilkan dengan cerita di dalam film yang satu ini. Bahkan, film yang satu ini dijamin bisa membuat kalian lebih termotivasi untuk membersihkan rumah dan tega untuk melepaskan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak terpakai.
Happy Old Year adalah sebuah film yang bercerita tentang seorang perempuan bernama Jean (diperankan oleh Chutimon Chuengcharoensukying) yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Swedia, kemudian ia bercita-cita ingin mengubah rumah lamanya menjadi sebuah rumah sekaligus kantor dengan desain minimalis impiannya. Namun rupanya, untuk mencapai keinginannya tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Jean harus berselisih dan beradu pendapat terlebih dahulu dengan orang sekitarnya, terutama ibunya sendiri. Ya, bisa dibilang film ini mengangkat ide cerita yang konfliknya tak begitu rumit, namun hampir semua orang dapat merasakan hal ini bahkan hingga beberapa tahun ke depan pun saya rasa semua orang akan tetap merasa relevan dengan cerita ini.
Nah, jika sebelumnya kalian pernah menonton film Bad Genius pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok Jean di dalam film ini, ya, dengan karakter yang tak jauh berbeda, Chutimon Chuengcharoensukying berhasil memainkan peran di dalam film ini. Berkat kemampuan aktingnya ia berhasil menjadikan film dengan ide cerita yang sederhana menjadi terasa sangat menyentuh dan emosional bagi penontonnya.
Saya akui Chutimon Chuengcharoensukying mampu memerankan drama penuh emosional ini dengan pas tanpa berlebihan, tapi penonton bisa tetap menikmati. Bayangkan saja, dari sebuah cerita yang mengangkat proses membuang barang menjadi alur cerita menarik yang layak dikonsumsi dan syarat akan makna tersirat.
Saya sangat suka dengan visual gambar di dalam film ini dan saya yakin generasi "pemuja estetik" pun akan setuju dengan pendapat saya. Di awal film kita sudah diperlihatkan visual minimalis yang begitu ciamik dan sangat memanjakan mata penontonnya.
Secara konsisten, hampir setiap adegan di dalam film ini didominasi dengan warna putih begitu pula penggambaran sosok Jean yang tidak pernah menggunakan baju selain warna putih. Sepertinya selain menunjukan kesan minimalis, hal ini pun ada kaitannya dengan penggambaran karakter Jean yang bisa dibilang cukup dingin dan hampir tidak memiliki emosi.
Meski memiliki pengambilan gambar yang begitu menarik dan layak disaluti, durasi film ini terasa begitu lama dan melelahkan. Sebenarnya sama seperti film panjang pada umumnya, film ini memiliki durasi yang normal yaitu sekitar hampir dua jam.
Namun ketika menonton, kita akan merasa begitu lama, karena film ini jarang menyajikan dialog dan kita harus melihat adegan yang sama dengan durasi bermenit-menit. Misalnya adegan ketika Jean sedang berjalan, Jean sedang menangis, dan lain sebagainya. Sepertinya film ini sengaja mengajak penontonnya untuk memposisikan diri atau merasakan bagaimana perasaan dari sosok Jean.
Menariknya lagi, film ini memiliki alur yang unik, di awal adegan ditunjukkan bagaimana Jean diminta menjelaskan proses dari berhasilnya membangun rumah yang sekarang sangat dikagumi orang-orang. Ya, bisa dibilang film ini menggunakan alur mundur, namun uniknya lagi cara bercerita di dalam film ini menggunakan penjelasan langkah-langkah bagaimana ketika ingin melepas suatu barang. Di mana salah satu proses tersulitnya adalah melupakan kenangan dari barang tersebut.