Lihat ke Halaman Asli

Diana Saragih

Still going 8 years on!

Mengembara di Pemukiman Jajahan Israel

Diperbarui: 27 Maret 2020   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

"Wanna do something crazy?" Sahut suamiku, ya, kami berdua memang traveller yang tergolong nekat. Saat mengembara menuju Gunung Hermon, kami nekat menerima undangan seorang teman, Mr. Hasan, seorang dosen sejarah yang pernah menjadi tour guide kami di Jerusalem, untuk bermalam di kampung halamannya, sebuah kota bernama Majdal Syams. 

Sesaat kami menjejakkan kaki disana, jantungku mendadak serasa berhenti, bangunan-bangunan kosong, masyarakat mengintip dari balik korden dalam flat-flat tua bertingkat rendah, toko-toko kumuh bertulisan Arab, tidak seorang pun berada diluar. Mr. Hasan menunggu kami sambil bersembunyi di bawah bukit pasir bersemak-semak kering, 'Seperti hendak menjemput pelarian penjara' pikirku. 

Beliau memandu kami ke mobilnya, sebuah Fiat tua berwarna krem, sepanjang perjalanan mr. Hasan bercerita tentang kawasan ini. Sebelumnya beliau meminta maaf bila kami kecewa atas undangannya, melihat kondisi kota ini yang mengenaskan secara drastis dibandingkan pemukiman-pemukiman orang Israel. Tentu saja kami tidak kecewa, hanya terkejut, dan sejujurnya kota ini menarik, sahut kami. 

Kami melihat pegunungan di sisi kiri yang merupakan bagian dari gunung yang akan kami tuju, Richard, suamiku, bercakap-cakap dalam bahasa Ibrani dengan Mr. Hasan, aku tak paham apa yang mereka katakan. Aku melihat pemandangan sekitar yang tidak jauh berbeda dengan daerah lain, melewati rumah-rumah penduduk, yang dikelilingi bukit-bukit batu dan pasir yang tandus, dengan pepohonan akasia.

Sesekali mobil berhenti mempersilahkan peternak kambing menyebrang, ternak disini merupakan benda berharga lebih dari emas. Sesekali militer Israel singgah, penduduk setempat menyembunyikan ternaknya di dalam rumah, agar tidak disita atau diambil untuk disembelih. Tentu saja hal itu jarang terjadi, kecuali bila terjadi tindak kriminal bermotif politik dan SARA. 

Baru-baru ini terjadi hal semacam itu, warga Majdal Syams berkulit gelap seperti Mr. Hasan kerap dicurigai oleh penduduk setempat dan militer Israel. Jadi ternyata itulah mengapa mr. Hasan tampak bersembunyi saat menjemput kami, untuk menghindari interogasi. 

Sudah setengah jam lebih perjalanan mobil berkelok menjauhi arah pegunungan, menuju jalan setapak berbatu yang cukup untuk 2 mobil, di kiri dan kanan jalan mulai tampak vegetasi-vegetasi yang lebih beragam, dan rimbun.

Mr. Hasan bercerita pada suamiku bahwa mertuanya adalah peternak sapi, dan beliau dibelikan sebuah properti tanah yang cukup luas untuk belajar melanjutkan usahanya. Namun apa daya Mr. Hasan tidak punya bakat dan minat untuk menjadi peternak, beliau merantau ke Tel Aviv, hingga Jerman, Inggris, Mesir, Lebanon, untuk melanjutkan studi sekaligus mengajar.

Saat ini peternakan sapi beliau diurus oleh adik iparnya, yang akan kami temui beberapa saat lagi. Sang adik ipar bernama Ubaid, perawakannya putih, tinggi dan tampan. 'Lebih mirip artis Bollywood ketimbang seperti peternak pada umumnya' pikirku. 

Mr. Hasan kemudian memperkenalkan kami pada istrinya, puji Tuhan, istrinya sangat cantik dan SANGAT MUDA. Seandainya tidak diperkenalkan, aku akan mengira dia adalah anak.. bukan, CUCUnya. Beliau tertawa, "Istriku muda dan cantik ya?" Celetuknya dalam bahasa Inggris. Naima, istrinya, pandai bercakap Inggris, seorang etnografer yang bertemu Mr. Hasan di Mesir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline