Ruang tamu yang sederhana dan nyaris tanpa pesona sedikit pun. Lain soal jika kesederhanaan itu dianggap sebagai sesuatu yang mempesona.
Kecuali lukisan hitam putih setengah badan tiga anak kecil (yang dari tanda-tangan pelukisnya menunjukkan dilukis oleh seniman jalanan Malioboro Yogyakarta pada 2011), tak satupun foto dirinya ataupun foto keluarganya terpampang di ruang tamu rumah Randu. Tak ada hiasan apapun di dinding, di lemari atau di meja.
Yang menyolok mata, hanya sebuah televisi berukuran jumbo, yang sebenarnya terlalu besar untuk ukuran ruang tamunya.
Lantas ada satu set meja makan, plus satu unit meja lagi yang lebih mirip meja kerja, di atasnya satu set komputer desktop, dengan kursi yang menghadap langsung ke televisi jumbo itu.
Di sudut ruang tamu itu, juga terlihat satu unit treadmil yang sudah lawas, yang terlihat tidak terlalu sering difungsikan untuk jogging atau lari.
Sebuah lemari besar, dengan daun pintu dari kayu, yang difungsikan sebagai rak buku, justru diletakkan di lorong antara ruang tamu dan kamar tidur, sehingga tidak mungkin terlihat oleh tamu.
Menurut Rafsanjani, teman diskusi Randu, tak ada satupun di ruang tamu itu yang mengindikasikan pemiliknya (Randu) adalah seorang intelektual, apalagi ustadz.
Bahkan, tidak adanya foto yang terpajang justru terkesan ada sesuatu yang disembunyikan. Bukankah sebagian besar orang biasanya justru dengan bangga memajang foto-fotonya, foto keluarganya, atau fotonya bersama tokoh-tokoh populer.
Suatu hari, Rafsanjani bertanya, "Randu, kenapa tak satu pun foto di ruang tamu ini?"
Randu sang Lelaki Paruh Baya (LPB) menjawab singkat, "Karena tidak mau saja".