Baru saja selesai membaca buku Kiai Penggerak (Februari 2022) tentang perjalanan hidup dan kiprah dakwah KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Buku setebal total 528 halaman itu ditulis oleh Haidar Musyafa dalam format novel biografi.
Kesan penyajiannya memang relatif ringan. Mungkin karena buku ini tampaknya lebih dimaksudkan agar pembaca dapat mengikuti semua fase atau periodisasi utama dari rangkaian sejarah hidup KH Ahmad Dahlan, sejak kecil, remaja, dewasa, lika-liku perjuangannya mendirikan organisasi Muhammadiyah hingga akhirnya wafat.
Seperti umumnya buku novel biografi, memang terkesan kuat bahwa tidak ada bagian buku ini, yang ditulis secara mendalam. Artinya, semua bagiannya (26 bab) disajikan secara ringan, sehingga relatif enteng dicerna oleh pembaca publik.
Dan secara umum, ada beberapa poin yang menarik.
Pertama, nama asli KH Ahmad Dahlan (nama pemberian ayah-bundanya) adalah Muhammad Darwis. Nama Ahmad Dahlan adalah nama yang tercamtum dalam sertifikat haji, ketika menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890M, saat berusia 22 tahun.
Kedua, Muhammad Darwis yang kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda. Pendidikan dan pengetahuannya diperoleh lewat otodidak, didikan orangtua di rumah dan mengaji di lingkungan Kauman dan Masjid Gede, Keraton Yogyakarta.
Ketiga, pernah tiga kali menunaikan ibadah haji. Pada haji pertama tahun 1890, beliau berada di Makkah selama sekitar 5 bulan. Sementara haji keduanya yang berlanjut ke haji ketiga, berlangsung selama sekitar 18 bulan yakni tahun 1903 dan 1904. Selama berada di Makkah pada tiga musim haji itulah, yang dimanfaatkan untuk mengaji dan berguru kepada para ulama Makkah ketika itu.
Keempat, ada yang unik bahkan aneh bin ajaib. Tidak ada satupun bab atau sub-bab yang menggambarkan kunjungan-ziarah Ahmad Dahlan ke maqam Nabi di Madinah. Dan tidak bisa dipastikan apakah penulis buku tidak mendapatkan data-informasi terkait ziarah Ahmad Dahlan ke Madinah, atau memang Ahmad Dahlan tidak pernah berziarah ke maqam Rasulullah saw di Madinah, selama tiga kali menunaikan ibadah haji.
Kelima, Ahmad Dahlan hidup dan lahir dari seorang ayah (KH Abu Bakar) yang bekerja sebagai Abdi Dalem bidang keagamaan di Keraton Yogyakarta. Dan KH Ahmad Dahlan sendiri sampai akhir hayatnya tercatat sebagai Abdi Dalem bidang keagamaan, menggantikan posisi ayahnya.
Keenam, kehidupan rumah tangga KH Ahmad Dahlan digambarkan dan disajikan lebih mirip sisipan atau selingan, sehingga terkesan malu-malu dan dipaksakan. Namun pembaca cermat akhirnya akan tahu bahwa KH Ahmad Dahlan pernah menikahi empat wanita.