[Rafi]
Namanya Rafi (bukan nama sebenarnya), pria lajang yang berusia sekitar 25 tahun. Sudah bermukim di Amsterdam hampir tiga tahun. Paspornya sudah expired. Tak punya izin tinggal resmi.
Rafi bekerja serabutan di Amsterdam. Melalui jaringan komunikasi antar sesama pekerja migran Indonesia di Belanda, Rafi sesekali menerima panggilan kerja dari Den Haag atau Rotterdam.
Berapa rata-rata penghasilan Anda setiap bulan? Tanya saya.
Nggak pasti. Sebagai pekerja serabutan, upahnya rata-rata 7 sampai 10 Euro per jam. Kalau misalnya ada rumah tangga meminta saya potong rumput di halaman rumahnya, dan saya bekerja sekitar 5 sampai 6 jam, tinggal dikalikan saja: 6 jam x 10 Euro = 60 Euro. Lumayan buat hari itu.
Tapi namanya pekerja serabutan, ya, nggak pasti adanya. Cuma namanya rezki, ada saja jalannya. Meski pas-pasan, tapi sejauh ini, belum pernah sampai kehabisan duit untuk makan dan sewa kontrakan. Pada hari itu, saya memperhatikan sekilas, pakaian Rafi relatif necis.
Rafi tinggal bersama temannya sesama pekerja migran asal Indonesia di sebuah kontrakan di Amsterdam dengan tarif sewa 450 Euro per bulan.
Rafi mengaku, sebelum ke Belanda, ia pernah bekerja di salah satu negara Asia. Lalu pulang ke kampungnya di salah satu kabupaten di Jawa Timur.
Ketika akan berangkat ke Belanda, melalui sebuah calo penyalur tenaga kerja di Surabaya, Rafi mengaku menghabiskan total sekitar Rp50 (lima puluh) juta, untuk biaya administrasi, dokumen pendukung, visa, tiket pesawat ke Belanda, jasa penyalur dan uang saku untuk beberapa bulan pertama di Belanda. Uang itu, sebagian dari hasil kerjanya di salah satu negara Asia selama dua tahun, sebagian lainnya pinjaman.
Karena itu, kata Rafi, selama satu tahun pertama di Belanda, sebagian besar penghasilan kerja saya untuk membayar utang di kampung. Memasuki tahun kedua, utang saya sudah lunas.
(BERSAMBUNG)