Seolah sedang menyusuri gua Tham Luang di Thailand, yang meliuk-liuk kanan-kiri dan naik-turun sejauh berkilo-kilo meter. Makin jauh ke dalam gua, makin gelap, oksigen makin tipis, juga makin menggoda untuk terus menyusuri koridornya sampai ujung.
Banyak rintangan ekstrem menghadang. Ada ruas gua membentuk lekukan ke bawah, yang harus ditembus dengan menyelam. Bagian lainnya dilewati dengan posisi badan miring sambil menyelam, yang jika tidak, akan tersangkut batu runcing. Juga ruas yang dialiri air, yang permukaannya hanya menyisakan ruang bernapas sekian sentimeter ke langit-langit gua, di celah yang sempit.
Tapi justru di situlah terletak sentuhan sensasi perjalanan ini, yang tak jeda memompa adrenalin. Tak ada ruang gerak yang lapang. Tiap gerakan salah, sekecil apapun, berpotensi berakibat fatal. Napas sering terengah. Ini perjalanan yang tiap saat bisa menjelma menjadi perjalanan terakhir: trip of no return.
Kembali ke mulut gua sudah bukan alternatif lagi. Perjalanan menyusuri celah gua telah kadung dimulai. Solusinya, memaksimalkan awas. Sebelumnya, perjalanan ini telah menelan banyak korban. Dan aku berharap berdoa agak tidak tercatat sebagai korban.
Maka bulat sudah tekad untuk melanjutkannya dan menikmatinya. Sebab senyampang rintangan ekstrem dan ruang gerak yang tak lapang, perjalanan ini menawarkan pesona eksotik yang juga tanpa jeda. Peluang langka untuk memanjakan hasrat petualangan.
Menikmati perjalanannya, tak peduli kapan akan tuntas. Konon, gua ini berakhir di sebuah ujung, tak ada jalan tembus ke sisi lain dari lereng gunung. Koridor buntu. Tak ada gambaran utuh tentang ujung koridor gua, yang tiap detik bisa saja runtuh akibat beban batu gunung di atasnya, yang sudah lapuk digergaji oleh zaman.
Syarifuddin Abdullah | 25 Juli 2018 / 12 Dzul-qa'dah 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H