Ketika anak pertama saya masih duduk di kelas dua SD, pada suatu malam di rumah, saya melihat Bundanya sibuk mengajarinya PR (Pekerjaan Rumah) matematika: pengurangan bilangan ratusan.
Anak saya terlihat kebingungan dan menguras tenaganya, namun tidak paham-paham juga, meski sudah berkali-kali diajari oleh ibunya melakukan pengurangan itu. Saya lalu iseng bertanya, "Kayaknya susah banget PR-nya?"
"Iya, nih, PR-nya susah banget. Mana gurunya mewajibkan harus bisa", kata anak saya.
Lalu saya melihat soal PR-nya: 234 dikurangi 178.
Seingat saya, waktu masih SD dulu, pengurangan seperti itu baru diajarkan ketika duduk di kelas 4 atau bahkan kelas 5 SD. Dan memang sulit. Sebab untuk menyelesaikan satu kolom pengurangan itu (4 dikurangi8), angka 4 harus mengambil satu dari angka di sebelah kirinya (3), sehingga angka 4 menjadi 14, kemudian dikurangi 8, dan hasilnya adalah 6. Selanjutnya, angka di kolom dua (3) karena sudah diambil 1 berarti tinggal 2, jika dikurangi 7, hasilnya minus 5. Maka angka 2 itu harus mengambil satu lagi dari angka di sebelah kirinya (1), sehingga angka 2 menjadi 12, dikurangi 7, hasilnya adalah 5. Dengan demikian, 234 dikurangi 178 = 56.
Pengurangan berbelit seperti itu, saya pikir, tentu memaksa seorang anak untuk berpikir tiga tahap untuk menyelesaikan satu kolom pengurangan. Artinya, terlalu berlebihan untuk anak kelas 2 SD.
Mungkin karena itu, saya agak emosi melihat soal PR-nya. Dan spontan saya perintahkan anak untuk tidak usah mengerjakan PR-nya itu.
"Kalau guru marah dan bertanya kenapa PR tidak dikerjakan, gimana menjawabnya, ayah?" Anak saya bertanya memprotes.
"Bilang kepada gurumu, ayahku melarangku untuk mengerjakan PR itu. Kalau pak/ibu gurumu yang memberikan PR itu tidak terima, minta dia telepon ke ayah!" Jawab saya dengan nada agak tinggi.
Akhirnya, anak saya memang tidak mengerjakan PR tersebut. Lalu di kertas PR itu, saya tulis tangan komentar yang kira-kira berbunyi begini: "Yth Bapak/Ibu guru. Apakah PR 234 dikurangi 178 ini layak diberikan kepada anak kelas 2 SD?"
Dan besoknya, anak saya juga menyampaikan kepada pak/ibu gurunya untuk menelepon saya (ayah) jika tidak menerima larangan saya.