Hari pencoblosan Pilpres 2019, masih sekitar 12 bulan lagi (17 April 2019). Selama periode itu, berbagai kemungkinan bisa terjadi. Dan ada satu fakta yang nyaris tak bergeser, yang kalau mau, boleh membanggakannya: hasil berbagai survei selalu mengunggulkan Jokowi (siapapun pendampingnya), dengan persentase keunggulan yang berbeda-beda.
Namun terkait dengan hasil survei-survei itu, ada beberapa catatan yang barangkali layak ditimbang serius oleh para pendukung Jokowi:
Pertama, dalam dua tahun terakhir, kita disuguhi dua fakta Pemilu, satu nasional dan satunya lagi internasional, yang menunjukkan betapa hasil survei hanya bisa dijadikan semacam "kompas" atau panduan saja, dan samasekali tak boleh dijadikan rujukan final.
Secara nasional, dalam Pilgub DKI 2017 (15 Februari dan 19 April 2017), menjelang pencoblosan, hampir semua survei menjagokan Paslon Ahok-Djarot, tapi nyatanya tumbang di putaran kedua.
Secara global, hampir semua pengamat dan survei awalnya mengunggulkan Hillary Clinton dalam Pilpres Amerika, 8 Nopember 2016. Faktanya, Donald Trump yang menang. Dengan catatan, bahwa sebenarnya secara absolut, perolehan suara Hillary Clinton lebih besar (65.853.625), atau selisih sekitar 3 juta suara dari perolehan suara Donald Trump (62.985.105). Tapi karena sistem electoral vote dalam Pemilu Amerika, Donald Trump akhirnya menang dengan perolehan electoral vote: 304 berbanding 227.
Kedua, sebagai petahana, kubu Jokowi akan cenderung selalu berada pada posisi bertahan dalam menghadapi gempuran kritikan, kampanye negatif dan kampanye hitam, yang menggunakan hal-hal yang kecil sekalipun. Dan ini normal dalam sebuah kontestasi politik.
Di sini, selain kematangan emosional dalam merespon berbagai kritikan, juga diperlukan kecerdesan yang manis.
Materi tanggapan atau jawaban terhadap kritikan, jangan dibuat asal-asalan, atau dibangun dengan logika yang ngawur dan boyak.
Ketiga, mengacu pada hasil Pilpres-Pilpres sebelumnya, pada tataran strategis, sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara presiden lama dan presiden baru. Sebab dalam strategi nasional, kita memiliki empat rujukan utama, yang sama di antara semua Paslon Capres-Cawapres: UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya, ruang improvisasi kebijakan oleh setiap Presiden dan kabinetnya tidak terlalu lebar. Sebab sebagian besar kebijakan hanya bisa bergerak pada tataran taktis saja. Dalam kasus ini, jika petahana tidak mampu mempertahankan atau berargumentasi secara cerdas dan manis tentang kebijakan taktisnya, ya, pasti akan jadi bulan-bulanan.
Keempat, kubu penentang akan memanfaatkan dan memaksimalkan tiap celah dan momentum untuk bisa menang. Dan kemenangan dalam Pemilu, sesuai dengan UU Pemilu, hanya satu digit (50+1), yang juga berarti bahwa kalah juga cuma satu digit (50-1). Ini ibarat perlombaan Formula-1, dimana perbedaan waktu finish antara The Winner dan peringkat kedua hanya selisih sepersekian detik.