Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Relasi Buruh dan Pemilik Modal

Diperbarui: 1 Mei 2018   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: justicewithpeace.org

Dalam sejarah peradaban di manapun dan kapanpun, buruh atau pekerja adalah sebuah keniscayaan. Karena selalu ada kelompok kecil pemilik modal, dan tiap modal cenderung mencari (atau dicarikan) peluang pembiakan. Dalam proses pembiakan modal itulah, diperlukan kelas buruh atau pekerja.

Dan selalu, modal cenderung bertambah dengan deret ukur, lalu dari sini kemudian terjadi akumulasi modal. Sementara kesejahteraan buruh berkembang secara deret hitung, itupun dengan sangat lamban.

Dalam perkembangannya, di era neo-kapitalisme, buruh menjadi kelas sosial yang sering dipersepsikan sebagai kelompok yang diperas. Berbagai aturan yang mengatur relasi buruh dan pemilik modal, dirumuskan dan diberlakukan. Dalam proses negosiasi, pemilik modal tentu selalu memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Karena pemilik modal memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan hubungan kerjasama strategis dengan pihak eksekutif dan legislatif.

Maka lahirlah beragam peraturan (eksektufi) dan undang-undang (legislatif), yang pasal-pasalnya atau klausulnya lebih berpihak kepada pemilik modal.

Kondisi faktual ini semakin tidak adil, karena kelompok pekerja di negara-negara tertentu -- termasuk di Indonesia -- tidak memiliki budaya berorganisasi yang managerial (jika dibandingkan misalnya dengan kelas buruh di negara-negara Eropa, terutama Jerman, Inggris dan Perancis).

Jika diringkas, dalam relasi pemilik modal dan buruh, kepentingan pemilik modal bermuara pada dua tujuan: membayar upah sekecil-kecilnya, dan buruh diarahkan untuk profesional dalam bidangnya. Dua kepentingan inilah yang selalu melatar belakangi berbagai kebijakan eksekutif dan legislatif.

Sebagai contoh, kita mengenal prinsip upah minimum, yang konsep dasarnya sebenarnya diciptakan sebagai mekanisme untuk melindungi buruh dan mengekang praktek pemerasan dalam pabrik.

Awalnya, upah minimum ini berlaku umum untuk semua wilayah nasional di suatu negara. Tapi oleh pemilik modal, upah minimum yang berlaku nasional disiasati lalu dibreak-down dengan beberapa kategori: Upah Minimum Regional (UMR), terus Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral (UMS). Tujuan kategorisasi upah minimum ini, tak lain dan tak bukan, untuk mempertahankan nilai upah serendah-rendahnya dan menciptakan peluang akumulasi modal sebesar-besarnya.

Tidak aneh, pertumbuhan upah minimum, selalu jauh tertinggal dibanding pertumbuhan modal dalam pabrik.

Dalam perkembangannya, kita juga mengenal istilah Corporate Social Responsibility (CSR), yang sebenarnya konsep adiluhung untuk mengatur kontribusi perusahan (pemilik modal) terhadap lingkungan sosialnya. Di Indonesia, CSR pernah diusulkan sampai 20 persen dari keuntungan perusahan. Tapi, konsep 20 persen CSR itu lalu dipangkas dengan kalimat "sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan". Dan kita tahu, CSR hanya merupakan akal-akalan pemanis, yang bisa disiasati oleh perusahaan (pemilik modal). Sebab kontribusi riil perusahaan adalah upah yang layak bagi buruhnya.

Akibatnya, prinsip-prinsip etis nyaris tak perndah mendapatkan ruang yang memadai dalam mempengaruhi pengaturan mekanisme relasi pemilik modal dan buruh. Sebagai contoh, dalam Islam, ada sebuah prinsip yang menyebutkan, "Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering". Prinsip ini tidak pernah bisa diterapkan secara maksimal. Dengan upah minimum, pemilik modal akan berdalih, sudah melakukan pembayaran upah (meskipun kecil). Tapi pekerja akan berargumentasi, upahnya belum cukup. Lagian saat ini, mekanisme pembayaran upah berlaku sebaliknya: bekerja dulu, baru diberi upah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline