Dari semua perkiraan skenario menghadapi Pilpres 2019, salah satu yang paling mungkin terjadi adalah daur-ulang skenario Pilgub DKI 2017 yang berakhir dengan kemenangan pasangan Anies-Sandy atas petahana Ahok-Djarot.
Sekedar mengingatkan, Pilgub DKI 2017 adalah salah satu Pilkada, yang paling berdarah-darah dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Dan kalau dicermati, setidaknya ada empat variabel kunci yang diolah secara masif dan efektif pada Pilgub DKI 2017:
Pertama, mobilisasi massa dan perang maya secara massif via Medsos oleh para buzer dari dua kubu yang bertarung. Pertarungan maya ini cenderung menghalalkan semua cara, untuk menyudutkan kubu lain. Ini terjadi pada tiap Pilkada. Tapi dalam Pilgub DKI 2017, dua kubu mengerahkan semua sumberdayanya.
Kedua, kubu Anies-Sandy mengolah kasus Ahok melalui berbagai lini secara simultan dengan sentimen: sosial (minoritas ganda Ahok), keagamaan (kasus Al-Maidah 51); hukum (proses peradilan terhadap Ahok).
Ketiga, mobilisasi pemilih DKI yang berdomisili di luar DKI. Ketika itu, banyak warga DKI yang bekerja dan berdomisili di luar DKI, juga mahasiswa dan pelajar asal DKI yang belajar/kuliah di kota-kota lain, dimobilisasi untuk mengambil cuti, khusus untuk datang ke Jakarta pada hari pencoblosan. Dan sebagian besarnya adalah simpatisan dan pendukung kubu Penantang (Anies-Sandi). Poin ini memang tidak atau kurang terbaca dalam survei-survei Pilgub, dan akhirnya mengakibatkan hampir semua perkiraan survei meleset.
Keempat, begitu putaran pertama Pilgub DKI selesai (14 Februari 2017), yang dimenangkan oleh Ahok-Djarot, kubu Petahana kurang cerdas dalam mengolah limpahan suara dari Paslon AHY-Sylvi (tersingkir di putaran pertama). Ketika itu, Paslon Ahok-Djarot seolah berada di atas angin. Celaka-12 terjadi ketika akhirnya sekitar dua pertiga pemilih AHY beralih ke Paslon Anies-Sandy. Mobilisasi pemilih DKI yang berdomisili di luar DKI tersebut makin maksimal dan kencan di putaran kedua. Memang periode waktu untuk mengolah limpahan suara itu sangat terbatas (cuma sekitar dua bulan).
Catatan: sehari setelah pencoblosan putaran pertama Pilgub DKI (15 Februari 2017) atau dua bulan lebih sebelum pencoblosan putaran kedua (19 April 2017), saya sempat menulis artikel di Kompasiana (16 Februari 2017), yang berjudul, ""Putaran-II Pilgub DKI: Hanya Kecurangan yang Bisa Membendung Gerak Laju Anies-Sandi",
yang memperkirakan dan hampir memastikan Ahok-Djarot akan kalah di putaran kedua. Saat itu banyak yang mencibir, tapi prediksi itu ternyata kebetulan benar.
Pertanyaan kunci: apakah skenario Pilgub DKI 2017 bisa didaur ulang pada Pilpres 2019, dengan agenda utama mengalahkan Petahana?
Jawaban sementara: it depends on (tergantung). Namun keempat variabel inti Pilgub DKI 2017 di atas, akan kembali diupayakan untuk didaur ulang pada Pilpres 2019, tentu dengan sentuhan-sentuhan modifikasi, sebagai berikut: