Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Pilpres 2019, Seandainya Saya SBY

Diperbarui: 29 November 2017   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: screen-shot KompasTV, 30 Oktober 2017.

Ya, seandainya saya adalah SBY! Sebagai mantan Presiden RI selama dua periode, adalah kewajiban bagi saya untuk terus berbakti kepada bangsa dan negara. No doubt about that. Selain persoalan-persoalan kebangsaan lainnya, salah satu konsen utama saya adalah tetap eksis pada setiap Pemilu nasional ataupun Pilkada.

Kali ini ingin mengulas pikiran dan strategi saya terkait gawean Pilpres 2019, melalui sejumlah catatan berikut:

Pertama, partai Demokrat yang saya kendalikan merupakan Parpol yang berhak mengajukan pasangan Capres-Cawapres sesuai perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2014 (12.728.913 atau 10,19 %), tentu dengan asumsi ambang batas suara nasional 5 atau 10 persen.

Seperti diketahui, pada Juli 2017, DPR sudah memutuskan ambang batas 20 persen (kursi DPR) atau 25 persen (suara nasional). Saat ini, keputusan itu sedang digugat melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Ada kemungkinan MK akan mengabulkan judicial review menjadi, misalnya, 5 atau 10 persen saja suara nasional. I hope. Partai Demokrat sebenarnya malah menghendaki ambang batas 0%.

Dan sesuai jadwal dan tahapan Pemilu 2019, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017, hari pencoblosan Pilpres dan Pileg akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Tapi pendaftaran Capres-Cawapres pada 4 - 10 Agustus 2018. Artinya setiap kubu kira-kira masih punya waktu sekitar 8 bulan dari sekarang untuk mematangkan pasangan Capres-Cawapresnya. Tentu saya akan mencermati setiap survei publik, dan Demokrat sendiri sudah beberapa kali melakukan survei internal, yang hasilnya tidak dipublikasikan.

Kedua, persoalannya adalah siapa bakal Capres-Cawapresnya? Saya masih menimbang-nimbang beberapa nama. Sebenarnya, saya pengen banget menjagokan putra saya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk maju sebagai Capres. Tapi kegagalan AHY dalam Pilgub DKI 2017 memaksa saya harus menghitung ulang. Barangkali maqam AHY memang sebatas Cawapres saja. Saya menyadari, jika saya ngotot AHY jadi Capres, posisi tawar saya menjadi lemah di hadapan Parpol bakal koalisi. Sebaliknya kalau AHY ditawarkan sebagai Cawapres saja, posisi tawar saya menjadi lebih kuat.

Tapi kemungkinan saya mengajukan AHY sebagai Capres tetap ada, cuma masih menunggu keputusan kubu lain (Kubu PDIP dan Gerindra).

Ketiga, tentu saya harus melakukan negosiasi tawar-memawar politik dengan sejumlah Parpol untuk berkoalisi dengan Demokrat. Dan seperti diketahui, sejumlah Parpol sudah menyatakan berkoalisi dengan PDIP untuk tetap mengusung Jikowi, yaitu Golkar, Nasdem, Hanura dan PPP. Sementara kubu Gerindra kemungkinan akan berkoalisi dengan PAN, PKS dan PBB.

Jadi Parpol yang tersisa, yang bisa saya rangkul adalah PKB, PKPI, Perindo, PSI. Dari empat Parpol ini, PKPI sudah ketahuan kekuatannya. Sementara Perindo dan PSI belum teruji.

Saya harus mengakui, dari sekian parpol yang belum menentukan sikap, posisi PKB memang unik dan relatif istimewa. Saya tahu, pada Pemilu 2014, perolehan suara PKB menduduki posisi ke-5 (11.298.957 atau 9,04 %). Perolehan ini setara ketika PKB dikendalikan Gus Dur pada Pemilu 1999 dan 2004. Artinya, PKB sudah pulih dan normal kembali.

Apalagi saat ini, hubungan PKB dan NU juga sedang berada pada kondisi yang enak. Konon Cak Imin mampu menyelusuf ke tiap lini struktur NU. Artinya, potensi suara PKB dan massa NU cukup menjanjikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline