Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Memprediksi Prediksi

Diperbarui: 30 Agustus 2017   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Saking seringnya kita membaca dan mendengar prediksi politik, sosial, dan keamanan, kita kadang terpaksa harus memprediksi lagi berbagai prediksi-prediksi yang berseliweran itu. Jadinya, memprediksi pradiksi. Lalu prediksi atas prediksi itu harus diprediksi lagi. Dan begitu seterusnya.

Sering juga terjadi, kita menemukan sebuah analisis atau prediksi yang dikesankan - atau kita memahaminya - sebagai sesuatu yang baru. Lalu analis dan prediksinya itu kita posisikan sebagai orang dan sesuatu yang hebat, lantas kita memperkenalkan analis dan prediksinya itu sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan, sekedar ingin menunjukkan bahwa kita seolah-olah memahaminya. Padahal analisis/predisksi itu sama sekali bukan hal baru.

Sekedar contoh, pada 1989, A. Ralph Epperson menulis buku berjudul "The New World Order", yang memprediksi beberapa poin sebagai berikut:

"Di lingkungan keluarga: perkawinan homoseksual akan diakui secara hukum; para orangtua tidak akan dibiarkan membesarkan anak-anaknya (karena akan diambil alih oleh Negara); semua wanita akan dipekerjakan oleh negara dan tidak akan dibiarkan menjadi 'pekerja rumahan'; bahwa perceraian akan semakin mudah terjadi; dan perkawinan monogami secara perlahan akan ditinggalkan".

Terus di bidang keagamaan, Epperson memprediksi begini: "Agama akan diposisikan sebagai pelanggaran hukum; orang-orang yang beragama akan dieliminasi atau dipenjarakan; setelah itu akan muncul agama baru: yang menyembah manusia dan akalnya; dan semua orang akan menganut agama baru itu."

Adakah yang baru dari prediksi sosial seperti yang digambarkan Epperson itu? Jawabnya: tidak ada yang baru.

Bagi pembaca karya-karya filsafat klasik dan modern tidak akan kaget dengan prediksi sosial-keagamaan semacam itu.

Lebih seabad sebelum Epperson menulis prediksinya bahwa agama akan diposisikan sebagai pelanggaran hukum dan akan muncul agama baru, Friedrich Nietzsche telah membuat statemen yang jauh lebih radikal: "God is Dead (Tuhan Telah Mati)" dalam bukunya "The Gay Science" (1882). Pernyataan ini, yang kadang juga disebut "The Death of God (kematian Tuhan)" sebenarnya merangkum semua prediksi yang mengatakan, agama dengan segala sistem hukumnya, tak lagi diperlukan.

Lantas apa yang terjadi setelah lebih dari seabad kemudian? Agama toh tetap atau malah semakin eksis di berbagai belahan bumi. Keyakinan agama justru hadir semakin kuat delam pelbagai konflik sosial.

Kita sering pura-pura lupa bahwa setiap zaman tak pernah luput dari fenomena sosial-keagamaan yang gasal. Kaum homo, misalnya, sudah ada sejak zaman Nabi Luth, makanya muncul istilah lawwath (kaum homo). Artinya, prediksi Epperson bahwa perkawinan homoseksual akan dilegalkan, samasekali bukan temuan baru.

Dan ada satu kekeliruan yang sering dilakukan oleh sebagian intelektual Muslim ketika meminjam atau mengutip atau menyadur hasil analisis para cendekiawan asal Eropa Barat atau Amerika: hasil pengamatan sosial keagamaan yang diungkapkan para cendekiawan Barat, yang sebenarnya mengacu dan lebih menyoroti kondisi sosial keagamaan masyarakat Barat juga, namun dicoba dipaksakan untuk digunakan sebagai acuan dalam menganalisis fenomena sosial keagamaan di wilayah lain. Di sini terjadi semacam penggunaan pisau analisis dan prediksi yang tidak pada tempatnya dan tidak compatible.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline