Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Saudi Arabia Terperangkap dalam Kubangan Perang Yaman

Diperbarui: 19 Agustus 2017   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: aljazeera.net

Ketika mulai melancarkan operasi militer untuk memerangi kelompok Al-Houti di Yaman pada 26 Maret 2015, selama beberapa minggu pertama, Jubir militer Kerajaan Saudi Arabia (KSA), Mayjen Ahmad Asiri, berkali-kali sesumbar di media menegaskan, operasi telah berjalan sesuai tahapan frame of time yang telah ditentukan.

Sedemikian rupa pernyataan publik yang ditayangkan live hampir setiap hari itu, sehingga terkesan ingin menggiring dan meyakinkan publik pemirsa bahwa seolah-olah operasi militer di Yaman akan segera tuntas besok atau lusa harinya.

Tapi bagi pemirsa dan pengamat yang cermat, pernyataan Jubir militer itu sekedar konsumsi media. Propaganda perang. Dan terbukti banyak kelirunya. Sebab intervensi KSA di Yaman sampai Agustus 2017, telah berlangsung 2 tahun + 5 bulan.

Secara pribadi, saya yang cuma paham sedikit tentang kulit-kulit teori perang, sejak awal sudah menduga dan menyampaikan dalam beberapa diskusi terbatas: KSA masuk ke perangkap kubangan yang tidak akan mudah dan mungkin nantinya akan kebingunan menemukan jalan keluarnya.

Sebab untuk mengalahkan Al-Houti di Yaman, KSA dan koalisinya harus mampu memasuki dan menguasai ibukota Sana'a, yang dikuasai oleh Al-Houti. Persoalannya, untuk memasuki Sana'a, ada beberapa syarat utama, yang mohon maaf dan dengan segala hormat, semuanya tidak dimiliki oleh KSA saat itu dan juga saat ini.

Pertama, untuk memasuki dan mengambil alih Sana'a diperlukan pengerahan pasukan darat secara massif. Dan KSA tidak memiliki atau mungkin tidak siap menanggung konsekuensi jika harus mengerahkan pasukan darat dalam jumlah besar ke Yaman.

Sebab secara geografis, wilayah tempur di Yaman bagian utara dan barat sangat luas. Belum lagi medannya yang tandus. Dan umumnya jalan akses dari Saudi ke/dari Sana'a melintasi dan meliuk-liuk di lembah pegunungan, sehingga pasukan darat penyerang bisa menjadi makanan empuk bagi milisi Al-Haouti.

Selain itu, meskipun memiliki berbagai jenis senjata mutakhir, tapi militer KSA tak memiliki pengalaman tempur darat berskala besar. KSA memang pernah terlibat aktif dalam Operation Desert Storm (17 January 1991 - 28 Februari 1991) untuk membebaskan Kuwait. Tapi itu operasi Amerika, Bung.

Disadvantage ini (absennya pasukan darat skala besar) coba ditutupi dengan cara memaksimalkan serangan dari selatan (Aden), dengan pertimbangan medannya relatif bersahabat, banyak kabilah pendukung Koalisi yang berbasis di selatan dan timur Sana'a, dan Pemerintahan Abduh Rabbu Mansour Hadi yang tergulingkan juga berbasis di selatan. Tapi lagi-lagi: tak ada pasukan darat dalam jumlah besar. Beberapa kali memang diberitakan, pasukan Koalisi sempat merangsek ke provinsi yang melingkari ibukota Sana'a dari arah barat-laut, selatan, tenggara dan timur. Namun tampaknya penetrasi itu bisa dipukul mundur oleh milisi Al-Houti.

Untuk menutupi tidak adanya pasukan darat berskala massif tersebut, KSA memaksimalkan gempuran udara. Tapi secara militer, mengandalkan serangan udara saja, tanpa dukungan pasukan darat, tidak akan efektif.

Selain itu, gempuran udara juga sangat rentan dengan pembunuhan rakyat sipil (non-kombatan) dan hancurnya infrastruktur. Belakangan muncul sebuah laporan tim PBB yang menyebutkan, ribuan anak-anak dan ibu-ibu tewas akibat gempuran udara, yang memang sulit membedakan mana pasukan tempur dan mana rakyat non-kombatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline