Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Ulang Tahun yang Harap-harap Cemas

Diperbarui: 30 Mei 2017   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arsip pribadi

Persis setahun silam, saya menulis artikel berjudul “Hari Ulang Tahunku: Antara Hijriyah dan Masehi”. Sebagian isinya masih sangat layak kutip dan karena itu disertakan dalam artikel ini.

---------------

Merayakan ulang tahun ke-51, kata sebagian orang, adalah usia yang sangat matang. Tapi bagi saya, justru terasa sebagai ulang tahun, yang memenuhi semua syarat untuk dibilang ulang tahun yang penuh dengan harap-harap cemas.

Sebagai perbandingan, berdasarkan hasil konversi dengan menggunakan aplikasi khusus, tanggal 30 Mei 1966 itu bertepatan dengan 09 Safar 1386H (dengan catatan: konversi tanggal Masehi ke/dari Hijriyah bisa meleset 2 atau 3 hari).

Artinya, kalau dihitung dengan kalender Hijriyah, usia saya sebenarnya sudah 52 tahun pada tanggal 09 Safar 1438H, yang bertepatan 10 Nopember 2016 lalu. Dan hari ini (30 Mei 2017/ 04 Ramadhan 1438H), usia Hijriyah saya sesungguhnya sudah 52 tahun + 6 bulan + 21 hari.

Terus terang, saya tidak punya catatan khusus tentang usia kepala 50 ini. Kata dokter, mestinya sudah berkacamata, tapi saya masih merasa nyaman melihat, membaca dan kadang melirik dengan mata normal. Rambut juga masih dominan hitam, he he he. Tapi jika nantinya pun beruban penuh, aku tidak akan menyemirnya. Akan kubiarkan rambut nikmat Tuhan di kepala itu mengalami perbuhan warna secara alami tanpa intervensi.

Dan jika dihitung berdasarkan rata-rata usia harapan hidup laki-laki Indonesia (68,4 tahun menurut data 2013), berarti saya sudah menyelesaikan lebih dari dua-pertiga jatah hidup. Jatahku yang tersisa kurang dari sepertiga. Tapi siapa tahu saja, Allah memberikan pengecualian dengan anugerah usia yang lebih panjang. Who knows? And I hope.

Dan ternyata, poin paling menarik ketika seseorang mencapai usia kepala lima – yang mungkin bagi sebagian orang terasa “ngeri-ngeri sedap” – adalah hampir saban bulan, bahkan kadang beruntun setiap minggu, ada saja kabar tentang wafatnya teman-teman atau kerabat, yang sepantaran ketika masih sekolah di SD dulu, atau satu angkatan sekolah menengah pertama dan menengah atas, atau yang segenerasi ketika masih kuliah. Sebagian dari mereka malah sudah menutup usia pada usia yang lebih muda dari saya.

Dan setiap kali menerima kabar wafatnya teman seangkatan itu, setelah mendoakannya dan berusaha selalu melakukan shalat jenazah ghaib bila tidak sempat melayat langsung, kadang saya berkomentar begini: “ya, lewat lagi satu. Satu-satu berguguran”.

Yang sering membuat terhibur, kalau ketemu seseorang yang bertanya, “Syarif, sudah berusia berapa?” | “Sudah jalan 51 tahun” | “Ah, gak percaya, kelihatannya masih 40-an tahun”... Obrolan kayak gini biasanya saya anggap basa-basi dan meresponnya dengan senyum saja. Sebab, sesehat apapun dan sebugar bagaimanapun seseorang, usia realnya tidak akan berbeda jauh dari usianya menurut asumsi orang lain.

Meski agak susah, saya berupaya untuk tidak terlalu peduli pada usia yang sudah lewat, dan mencoba bersikap wajar bila sesekali mengingat ajal kematian. Sebab dikhawatirkan atau tidak, takut ataupun tidak takut, siap atau tidak siap, saatnya toh pasti akan tiba: bisa di darat, mungkin di laut atau bahkan di udara. Terserah pada kehendak Allah saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline