Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Karangan Bunga yang Salah Kaprah

Diperbarui: 29 April 2017   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI.

Seorang florist (ahli tata bunga) mengatakan kepada saya, sepekan sebelum hari pencoblosan Pilgub DKI 19 April 2017, tempatnya bekerja mendapatkan order karangan bunga sangat besar, dan semuanya didesain untuk kemenangan Ahok (terlihat dari pesanan narasi kalimat di karangan bunga). Nah sebagian besar orderan itu sudah dibayar lunas. Sebab perusahaan-perusahaan pembuat karangan bunga kebanjiran order, sehingga mereka mematok setiap oderan harus sudah lunas di awal.

Setelah kemudian Ahok-Djarot kalah, ratusan karangan bunga itu tidak lagi mungkin dirembes uangnya, sehingga pemesannya tetap memerintahkan pengiriman, tentu setelah dilakukan perubahan pada narasi kalimat di karangan bunga: yang awalnya “selamat atas kemenangan” menjadi “ikut berempati” juga konten pesan yang terkesan sangat dipaksakan.

Barangkali itulah sebabnya kenapa karangan bunga di Kantor Balai Kota DKI tetap berjibun, meski Ahok-Djarot kalah.

Dan kita tahu, berdasarkan tradisi pergaulan di perkotaan, karangan bunga biasa dikirimkan untuk dua hal: (2) mengucapkan selamat yang bermakna ikut bergembira, dalam bahasa Arab disebut tahni’ah; (2) Karangan bunga untuk mengucapkan duka, yang dalam bahasa bahsa Arab disebut ta’ziyah, yang mengandung makna ikut bersedih.

Untuk membedakan mana karangan bunga untuk ucapan selamat (tahniah) dan mana ucapan duka (ta’ziyah), bisa dilihat pada narasi peruntukannya di karangan bunga itu.

Penjelasan yang sangat mendasar tentang karangan bunga di atas tampaknya diperlukan, setelah muncul berbagai analisis tentang karangan bunga yang dikirimkan kepada Ahok paska Pilgub DKI putaran kedua, dengan sejumlah catatan tambahan berikut:

Pertama, jika karangan bunga untuk Ahok sebagai ucapan selamat ataupun untuk menghibur Ahok-Djarot, rada-radanya kok berlebihan, dan pengirimnya cenderung tak memiliki sense of emphaty. Tapi kalau karangan bunga itu dikirim sebagai ucapan duka, ta’ziyah, tambah parah lagi. Sebab kekalahan di Pilgub DKI seolah-olah diposisikan sebagai “kematian”. Kan terlalu. Meskipun akhirnya berbagai ungkapan duka itu disetir ulang dengan kecaman terhadap terorisme, radikalisme, intolerisme. 

Dan mungkin inilah untuk pertama kalinya, dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin dalam sejarah dunia, aliran-aliran pemikiran (isme-isme) dan ideologi dikecam melalui karangan bunga. 

Kedua,  menghibur diri dan orang lain akibat kekalahan juga memerlukan kreativitas. Nah, karangan bunga untuk Ahok justru mengindikasikan bahwa para pendukung Ahok telah kehilangan kreativitas dalam menghibur diri. Bahkan bisa disebut, pendukung Ahok terkesan lebih cengeng daripada Ahok dan Djarot, yang secara gentlemen sudah mengakui kekalahan. Bahkan dalam sambutan kekalahannya (concession speech) pada 19April 2017, Ahok sempat  membuat pernyataan yang mirip dengan makna sebuah ayat Quran: bahwa hanya Tuhan yang kuasa memberikan dan/atau mencabut kekuasaan dari seseorang.

Ketiga, juga harus dikritik dan dikecam keras siapapun dari kubu pemenang, yang sengaja mengirim karangan bunga untuk tujuan mengejek kubu yang kalah. Perilaku ini menunjukkan tidak adanya sense of emphaty, dan keliru paham dalam memaknai kemenangan.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 29 April 2017 / 02 Sya’ban2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline