Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Ahok (Hampir Pasti) akan Kalah di Putaran Kedua?

Diperbarui: 11 April 2017   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Kompas.com/Kurnia Sari Aziza).

Setidaknya, ada tujuh alasan utama yang menunjukkan Ahok hampir pasti akan kalah dalam Pilgub DKI putaran kedua 19 April 2017, sebagai berikut:

Pertama, hasil jajak pendapat berbagai lembaga survei yang telah dipublikasikan menyatakan Anies-Sandi unggul dengan selisih bervariasi, antara 5 sampai 9 persen. Selisih ini cukup lebar, dan nyaris mustahil tekejar dalam tempo yang sisa 9 hari lagi menuju pencoblosan pada 19 April 2017.

Kedua, yang paling signifkan adalah bocoran dari sumber di Tim Ahok bahwa survei internal terakhir yang dilakukan oleh Tim Ahok – tentu saja tidak dipublikasikan – juga menunjukkan keunggulan Anies-Sandi sekitar 3 persen.

Ketiga, dukungan resmi PPP kepada Ahok, nyaris tak berpengaruh kepada anggota dan pendukung/simpatisan PPP. Terjadi semacam “deviasi ketaatan” kepada keputusan partai di kalangan anggota PPP. Dukungan PPP sudah terlalu telat, sehingga kesannya sangat kental hitungan pragmatis para pengurus partai.

Keempat, awalnya saya menduga DPP PKB akan mengalihkan dukungannya kepada Ahok, ternyata tidak/belum. Konon penyebabnya karena PKB cq Muhaimin Iskandar tidak mendapatkan janji kompensasi yang “memadai”. Namun pada 4 April 2017, DPW DKI PKB menyatakan dukungan kepada Ahok. Namun ada yang aneh terkait DPW DKI PKB. Sebab setelah itu, muncul postingan pernyataan Aqil Siraj Ketua Umum PBNU yang menganjurkan untuk tidak memilih pemimpin non-muslim, dan beredar viral sejak 09 April 2017. Fakta ini semakin menguatkan bahwa dukungan komunitas NU dan PKB di DKI, cenderung tidak akan memilih Ahok, meski belum tentu juga akan memilih Anies-Sandi.

Kelima, dan ini yang paling menarik, sekitar dua pekan sebelum pencoblosan, kondisinya mirip-mirip dengan situasi menjelang putaran kedua Pilgub DKI tahun 2012, ketika Fauzi Bowo berhadapan melawan pasangan Jokowi-Ahok.

Saat itu, Fauzi Bowo juga konon sudah diberitahu tentang keunggulan Jokowi-Ahok. Oleh karena waktunya sudah sangat mepet,  Tim Bowo akhirnya memilih jalan pintas: mulai menggelontorkan dana secara massif. Namun dana itu belakangan diketahui tidak mengalir turun ke pemilih, namun berhenti di level tengah (kordinator lapangan tim sukses).

Konon karena para tim sukses Bowo memutuskan melakukan tindakan “menelikung di dalam lipatan”, dengan cara menahan dan mengambil sendiri duit itu, yang mestinya disalurkan kepada para pemilih, dengan alasan sederhana: duit itu sudah tidak ngefek lagi untuk mengubah pilihan rakyat DKI. Jadi daripada disalurkan ke pemilih, mending diamankan alias untuk kocek sendiri saja.

Keenam, bila ulasan di atas benar adanya, maka pertarungan Pilgub DKI 2017 putaran kedua boleh “sudah selesai” bahkan sebelum TPS dibuka untuk pencoblosan pada 19 April 2017.

Ketujuh, konon, pemilih DKI adalah komunitas pemilih yang paling dinamis, yang katanya enteng bergerak atau bergeser dari satu pilihan ke pilihan lain, hanya karena sebuah isu. Saya tidak terlalu percaya dengan analisis ini. Sebab di sisi lain, pemilih DKI juga sering digambarkan sebagai pemilih paling rasional. Buat saya gak nyambung saja antara karakter rasionalitas dan entengnya berpindah pilihan.

Syarifuddin Abdullah | Senin, 10 April 2017 / 13 Rajab 2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline