Kebanyakan penyair sukses mengungkap rasa mengenai cinta, benci, dendam juga tentang keindahan dan kemuraman. Tapi hanya sedikit penyair yang berhasil merumuskan bait-bait syair, yang mewakili kepentingan publik di dunia politik, kebudayaan dan keagamaan. Saya pikir, di sinilah kekuatan dan keunggulan Muhammad Iqbal (kelahiran 1877).
Dan biasanya, saya tidak terlalu tertarik mengunjungi monumen buatan, yang dibangun dan didedikasikan untuk seorang tokoh tertentu. Tapi lambat laun, standar perlakuan yang bersifat sangat pribadi itu mengalami semacam kelenturan. Alasannya sederhana: karena monumen yang sangat kuno sekalipun – misalnya piramida Khofo di Mesir – juga pada awalnya adalah monumen (kuburan) untuk seorang penguasa di zamannya. Perasaan itu kembali muncul di benak saya ketika mengunjungi museum nasional di Islamabad, pada 28 Maret 2017.
Menelusuri gambar, patung dan berbagai keterangan tentang tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Pakistan: Quaid-i- Azam dan Ali Jinnah. Lalu saya tiba di bilik khusus untuk penyair Pakistan yang populer: Muhammad Iqbal.
Langkah saya seolah terpaku ketika berada di depan patung Muhammad Iqbal, yang dipatungkan sedang duduk di kursi, berpakaian jas lengkap dengan dasinya, rambut disisir klimis ke belakang, kepala direbahkan sekitar 45 derajat ke kanan, tanganya menopang kepalanya, dan separuh kepalan tangannya persis berada di pelipis kanannya, sikunya bertumpu pada pegagan kursi.
Pikiran saya menerawang ke belakang, sebelum Pakistan merdeka dan berpisah dari India, yang diawali dengan “The Lahore Resolution” pada 23-24 Maret 1940. Tapi ketika Iqbal menjabat Ketua Punjab League Muslim, dan dalam pertemuan tahunan All India Muslim League, pada Desember 1930, Iqbal menyampaikan pidato puitisnya, yang antara lain mengusulkan pembentukan negara yang terpisah (separate homeland) untuk umat Islam India.
Namun cita-cita luhur Muhammad Iqbal tentang sebuah negara terpisah untuk Muslim India itu berakhir pada kondisi yang mengecewakannya. “Nations are born in the hearts of poets, they prosper and die in the hands of politicians” (negara-negara lahir di hati para penyair dan tumbuh sejahtera, tapi kemudian mati di tangan para politisi”.
Iqbal adalah seorang penyair paripurna, yang berpolitik tapi tak ingin disebut politisi. Seorang pemikir Islam, yang tak mau digelari ulama (baca: ustadz atau kiai). Seorang pemimpin yang enggan disebut pemimpin. Iqbal menulis: “I lead no party; I follow no leader. I have given the best part of my life to careful study of Islam, its law and polity, its culture, its history and its literature.” (saya tidak memimpin partai politik, saya tidak mengekor pada seorang pemimpin. Saya telah dikarunia bagian terbaik dari hidup saya untuk belajar secara cermat tentang Islam sebagai hukum dan kearifan, kebudayaan, sejarah dan khazanah).
Di depan patung Iqbal itu, aku berdiri. Membayangkan sosok intelektual Muslim yang berpendidikan Eropa, kembali ke negerinya lalu mencipta bait-bait syair secara genuine, yang karena kualitas dan kedalaman maknanya, karya-karyanya sering juga disebut bait-bait filsafat.
Meski belajar dan bisa menulis dalam bahasa Inggris, Iqbal lebih memilih menulis dalam bahasa Urdu dan Persia. Dari sekitar 12.000 bait yang pernah ditulisnya, kurang lebih 7.000 bait di antaranya ditulis dalam bahasa Persia. Melalui fakta ini, Iqbal seakan mengimbau bahwa seorang intelektual akan sempurna mengungkap rasa dan pikirannya bila dia menulis dalam bahasa ibunya. Dan jika karya-karya memang sungguh berkualitas, biarlah generasi berikutnya yang menilai dan menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa.
Syarifuddin Abdullah | Islamabad, 28 Maret 2017 / 30 Jumadil-akhir 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H