Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Mengenang Mbah Hasyim Muzadi

Diperbarui: 17 Maret 2017   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: https://news.detik.com/berita

Sabtu lalu, 11 Maret 2017, saya sempat menerima kabar via sms bahwa KH Hasyim Muzadi – Mbah Hasyim dan/atau Abah Hasyim – telah wafat. Namun setelah dikonfirmasi kepada seorang teman di Semarang, yang dekat dan biasanya aktif di komunitas NU, dipastikan bahwa Mbah Hasyim belum wafat, meski telah diminta oleh dokter agar istirahat total.

Dan tak ada keabadian kecuali untuk Allah. Semua akan fana. Kembali ke pangkuan-Nya. Berita meninggalnya Mbah Hasyim akhirnya terkonfirmasi pada Kamis pagi, 16 Maret 2017, sekitar pukul 06.00 WIB di usia 72 tahun. Inna lillahi wa inna illahi raji’un.

Secara pribadi, saya tidak pernah bersentuhan langsung dengan Mbah Hasyim, namun relatif aktif mencermati setiap pernyataan publiknya, terutama yang berkaitan dengan fenomena keagamaan, sosial dan politik nasional. Dan saya memiliki beberapa catatan tentangnya:

Pertama, Mbah Hasyim adalah ulama NU yang bisa bermain dan relatif konsisten di dua lini sekaligus (politik dan keagamaan), dengan nyaris tanpa konflik. Dengan kata lain, tetap diposisikan dan dihormati sebagai ulama yang pandangannya tetap ditunggu oleh komunitas NU, meski biasanya seorang ulama akan mengalami redup kredibilitas ketika terjun ke dunia politik. Ini menunjukkan bahwa Mbah Hasyim memiliki “kepiawaian tersendiri” untuk tidak menciptakan konflik dalam dirinya terkait dua kutub yang sering tidak sejalan itu: ulama dan politisi.

Kedua, selain Gus Dur, Mbah Hasyim Muzadi adalah orang kedua dari kalangan ulama NU yang pernah dan masih bermain di jantung kekuasaan nasional. Bahkan pernah maju sebagai Cawapres ketika mendampingi Megawati Soekarnoputi pada Pilpres 2004, meski gagal melawan pasangan SBY-JK.

Ketiga, beberapa kali saya mengikuti penampilannya di forum ilmiah berlevel internasional, seperti lewat forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars), yang setiap tahun menggelar konferensi tahunan. Dan saya menilainya sebagai penampilan biasa saja. Saya bahkan menilai bahwa kemampuan tutur Bahasa Arab Mbah Hasyim Muzadi belum mencapai level seminar. Meski saya tahu, Mbah Hasyim adalah alumni Gontor dan IAIN Malang. Dengan kata lain, tingkat kemahiran Bahasa Arabnya masih “kelas pondok banget”. Bahasa Inggris juga begitu.

Gagasan besar yang melatarbelakangi pembentukan ICIS, yakni untuk menfasilitasi para ulama Indonesia ke forum-forum internasional, relatif belum maksimal. Dan saya tidak bisa memahami, juga belum menemukan argumentasinya, kenapa Hasyim Muzadi yang membentuk ICIS ketika menjabat Ketum PBNU, lalu organisasi ICIS itu diboyong keluar dari PBNU, ketika beliau lengser sebagai Ketum PBNU.

Keempat, berdasarkan pengamatan saya, ada dua fokus perhatian atau agenda keagamaan yang relatif konsisten disuarakan oleh Mbah Hasyim, sejak masih menjabat Ketua Umum PBNU sampai wafatnya, yakni memerangi radikalisme yang biasanya dikonotasikan dengan Wahhabisme dan pada saat yang sama menjinakkan pengaruh paham Islam liberal.

Terkait dua tema itu, Mbah Hasyim sering membahasakannya dengan ungakapan bahwa komunitas NU atau moderasi NU di Indonesia terjepit oleh dua kutub, yang kira-kira sama gendheng-nya yaitu: (1) paham radikalisme-terorisme yang biasanya dikonotasikan dengan paham Wahhabi sebagai antitesis paham dan tradisi NU dan komunitasnya; (2) terjepit oleh pengaruh paham-paham liberal, yang notabene banyak diwakili oleh tokoh muda NU juga.

Kelima, dalam soal keilmuan Islam, saya menempatkan Mbah Hasyim sebagai ulama konservatif, dengan karakter yang NU banget, tidak terlalu tertarik melibatkan diri dalam konfrontasi perdebatan fikhi. Dan sepanjang pengamatan saya, Mbah Hasyim tidak pernah menghasilkan gagasan-gagasan genuine yang memiliki sentuhan pembaruan pemikiran dan pergerakan Islam.

Keenam, seperti umumnya kiai-kiai NU, Mbah Hasyim adalah ulama penutur, bukan ulama penulis. Tiga buku yang ditulis atas nama KH. Hasyim Muzadi tidak satupun yang berkaitan dengan pemikiran keagamaan, tapi lebih ke soal kiprah NU dalam percaturan politik nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline