Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Indonesia di Mata Donald Trump

Diperbarui: 13 Februari 2017   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Reuters dan Getty Image

Kurang dari sebulan sejak pelantikan, sampai hari ini 13 Februari 2017, berdasarkan beberapa sumber, Donald Trump telah berkomunikasi via telepon sekitar 20 pemimpin negara di dunia: Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Rusia, Jepang, China.

Sementara itu, Donald Trump baru menerima dua kunjungan kenegaraan: PM Inggris Teresa May yang tiba di Washington pada 27 Januari 2017, dan PM Jepang yang melawat ke Washington pada 11 Februari 2017. Dan telah dijadwalkan akan bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu pada Rabu, 15 Februari 2017. Sejauh ini, kayaknya belum ada agenda kunjungan Presiden Indonesia ke Amerika dalam waktu dekat.

Khusus untuk negara-negara berkembang, Donald Trump telah melakukan komunikasi via telepon antara lain dengan Raja Salman (Saudi Arabia), Presiden Abdul Fattah Al-Sisi (Mesir), Ardogan (Turki) dan Jokowi (Indonesia). Dalam komunikasi teleponnya dengan Jokowi pada 22 Januari 2017, Donald Trump sempat menegaskan, "Saya punya banyak kawan di Indonesia". Tapi dalam komunikasi telepon antara dua pemimpin negara, posisi dan bobot seorang pemimpin negara biasanya dapat dibaca dari “siapa yang menelpon” dan “siapa yang ditelepon”. 

Selain itu, terdapat tiga negara berkembang, yang menjadi prioritas sorotan Donald Trump, bukan dengan mengontak pemimpinnya, tetapi melalui pernyataan publik: yaitu Iran, Korea Utara dan Mexico. Lagi-lagi Indonesia tidak termasuk.

Diasumsikan bahwa di Gedung Putih terdapat klasifikasi negara-negara prioritas, mungkin 3 sampai lima lapis, secara berurut: sangat penting; penting; kurang penting; tidak penting; sangat tidak penting. Saya mengasumsikan Indonesia masuk kategori lapis ketiga (kurang penting). Atau biar soft: Indonesia tidak termasuk dalam radar prioritas utama oleh Donald Trump dan Pemerintahannya.

Dan posisi “kurang penting” tersebut bisa bermakna dua: pertama, bahwa sebuah negara tidak dikategorikan sebagai mitra utama Amerika dalam mendukung agenda global Amerika; atau kedua, negara tersebut dianggap bukan negara yang berpotensi menjadi trouble maker bagi kepentingan global Amerika.

Sebaliknya, Iran dan Korea Utara tentu akan diposisikan penting atau bahkan sangat penting dalam skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika. Tapi kedua negara ini dianggap penting atau sangat penting, karena keduanya diasumsikan berpotensi menjadi trouble maker bagi kepentingan global Amerika.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada doktrin klasik, yang sampai sekarang tetap diajarkan di sekolah-sekolah, bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki posisi strategis karena terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Atlantik). Doktrin seperti ini lebih berfungsi sebagai bahan untuk membangkitkan semangat nasionalisme, tapi sering berbeda jauh dengan realitas yang terjadi secara faktual.

Jika ingin faktual, setidaknya terdapat beberapa isu yang bisa dimainkan Indonesia, dan terkait langsung dengan agenda global Amerika serikat, sebagai berikut:

Pertama, war on terror. Amerika tentu memposisikan Indonesia sebagai salah satu sumber teroris di Indonesia. Masalahnya Amerika memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak bisa diajak bekerjasama secara maksimal dalam agenda war or terror. Sebab berdasarkan doktrin politik luar negeri Indonesia (doktrin bebas aktif), Indonesia tidak bisa misalnya menjadi anggota koalisi (yang secara terbukan dan langsung mengirim pasukan atau berpartisipasi dengan senjata dan logistik) untuk memerangi IS di Suriah atau Irak atau Yaman.

Kedua, bahwa Indonesia termasuk wilayah operasional perusahaan perusahaan pertambangan asal Amerika. Sebut saja misalnya Exxon Mobil, Chevron dan Freeport. Dan terkait perusahaan tambang ini, kepentingan Amerika biasanya hanya fokus pada dua isu: menjamin tidak ada kebijakan pemerintah – baik berupa kebijakan eksekutif atau kebijakan berupa undang-undang di parlemen –yang dianggap merugikan perusahaan Amerika, dan tentu saja, ada jaminan keamanan untuk kegiatan operasional perusahaan Amerika di Indonesia. Karena dua poin ini selama ini relatif tidak ada persoalan, Indonesia dianggap sebagai “sahabat Amerika”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline