Masjid itu bukan sekedar bangunan fisik yang kokoh dan megah. Masjid lebih merupakan bangunan spiritual. Karena itu, ada sabda Nabi yang mengatakan “Semua titik di bumi Allah ini adalah masjid (وَأَرْضُ اللهِ كُلًّهَا مَسَاجِدُ)”.
Dan secara bahasa, kata “masjid” (مَسْجِدٌ) – kata benda (noun) yang menunjukkan tempat – berarti tempat sujud. Maka setiap setiap titik sujud sebenarnya bisa disebut masjid.
Terkait dengan pembangunan dan pemuliaan masjid, ada sebuah ayat Quran yang biasanya dijadikan acuan, yaitu Surah At-Taubah ayat 18 yang menegaskan: “Bahwa hanya orang beriman kepada Allah dan hari kiamat yang memakmurkan masjid (إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر)”.
Kata “memakmurkan masjid (يَعْمُرُ مَسَاجِدَ)” di ayat itu dapat diartikan dua makna: memakmurkan dalam arti membangun fisik masjid, atau memakmurkan dalam pengertian memuliakan (sering digunakan untuk shalat berjamaah misalnya).
Bagi mereka yang lazim disebut “orang-orang yang memuliakan masjid” – yang dalam Bahasa Indonesia sering disebut ta’mir masjid – melalui pengalaman spritual yang berlangsung lama, biasanya akan tiba pada suatu tahapan/maqam “ketajaman rasa spritual”, yang memungkinkan dia mampu membedakan antara masjid yang nyaman ditempati shalat, masjid yang kurang nyaman ditempati shalat, atau masjid yang bahkan tidak nyaman sama sekali ditempati shalat.
Saya yakin masing-masing Muslim pernah mengalami shalat di sebuah masjid, dan rasanya amat nyaman, terdorong untuk khusyu’, sehingga perasaannya seperti seekor ikan di dalam air (enggan keluar dari masjid). Pada kesempatan lain, kita juga kadang shalat di sebuah masjid, dan perasaan kita menjadi gundah, sulit untuk khusyu’, dan perasaan kita seperti seekor burung di dalam sangkar (ingin membebaskan diri dan secepatnya keluar dari Masjid tersebut).
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah, para praktisi pergerakan biasanya membagi masjid ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
Pertama, masjid-masjid takwa, yakni masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan dalam rangka meninggikan kalimat Allah dan penyebaran ajaran agama. Kasus yang sering dijadikan contoh di sini adalah masjid Quba di Madinah. Tapi sekali lagi, untuk menentukan sebuah masjid dibangun atas dasar ketakwaan – atau keikhlasan – memang tidak bisa dilakukan dengan data statistik. Sebab hal ini lebih berkaitan dengan “ketajaman rasa spiritual”, yang sulit dijelaskan dengan argumentasi rasional.
Kedua, masjid dhirar (masjid yang diyakini dibangun berdasarkan tujuan kepentingan tertentu). Istilah dhirar(berbahaya dan membahayakan) ini mengacu pada Surat At-Taubah Ayat 107-108, yang berbicara tentang sebuah masjid yang di bangun berdekatan dengan Masjid Quba di Madina, dan proses pembangunannya dipelopori oleh 12 orang munafik di zaman Nabi, dan tujuan mereka membangun masjid itu adalah memecah belah umat (catatan: masjid ini sudah dihancurkan). Sebagian besar ulama, memastikan bahwa masjid kategori dhirar ini harus dihindari.
Dan sejumlah ulama pergerakan menyebutkan bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh tokoh tertentu untuk meraih popularitas, atau dengan tujuan agar kelak bisa dikenang oleh masyarakat, umumnya diposisikan sebagai masjid dhirar juga.
Ketiga, masjid-masjid yang tidak diketahui dan tidak bisa dipastikan asal-usul pembangunannya, biasanya masjid tua. Artinya tidak dapat dipastikan, apakah pembangungannya berdasarkan takwa/ikhlas atau atas dasar kepentingan tertentu. Biasanya, kategori masjid yang tidak jelas ini, dianjurkan juga untuk dihindari, namun tetap dihormati.