Bayangkan menjelang hari pencoblosan Pilkada DKI 2017 nanti, lantas media-media besar nasional (Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos dll) menyatakan dukungan terbukanya kepada salah satu dari tiga kandidat Pilkada DKI, dan dukungan itu ditulis secara terbuka melalui artikel yang dimuat di rubrik editorial (tajuk)-nya.
Sebagian kita (pembaca) mungkin akan langsung mengecam, dengan argumen bahwa media (terutama Surat Kabar cetak) wajib tidak berpihak. Lalu menuding media tersebut tidak demokratis, berpihak, dan segudang tuduhan gampangan lainnya.
Kalau ingin memilih mengecam, silahkan saja. Tapi media-media besar di Amerika dan Inggris, sudah lama memiliki tradisi yang disebut “endorsement” (dukungan), yang berarti media tertentu menentukan sikap, memastikan keberpihakannya, lalu memutuskan untuk mendukung secara terbuka salah satu kandidat dalam sebuah Pemilu.
Mau buktinya? Koran The Financial Times edisi Senin 31 Oktober 2016 menulis di editorialnya artikel berjudul: “For all her weaknesses, Clinton is the the best hope (Dengan segala kelemahannya, Clinton adalah harapan yang terbaik)”. Lalu di bawah judul itu, disertakan cuplikan lead artikel dengan kalimat “She is manifestly more competent than Trump with his braggadocio and divisiveness (Hillary Clinton sangat nyata lebih kompeten dibanding Donald Trump yang hanya omong besar dan sikapnya yang memecah belah”.
https://www.ft.com/content/f61b93c8-9f5a-11e6-891e-abe238dee8e2
Jauh sebelumnya, harian The New York Times, edisi cetak 26 September 2016, sudah lebih dahulu menurunkan artikel endorsement-nya melalui artikel yang berjudul “Why Donald Trump Should Not Be President (Kenapa Donald Trump Tidak Boleh Jadi Presiden)”. Lalu di bawah judul tersebut, terbaca kalimat lead: “Donald Trump is a man who dwells in bigotry, bluster and false promises (Donald Trump adalah pria yang menyimpan sikap keras kepala, suka mencerca dan ingkar janji)”.
Majalah The Economist yang terbit di London, dalam dua kali Pilpres Amerika (2008 dan 2012) menulis artikel endorsement untuk mendukung Barack Obama, juga melalui artikel yang khusus ditulis dan dimuat di rubrik opini sebagai sikap medianya. Jauh ke belakang, The Economist telah melakukan tradisi endorsement ini pada setiap Pemilu Inggris sejak tahun 1955.
Umumnya, artikel endorsement itu akan dipublikasikan oleh setiap media sekitar sepekan sebelum hari pencoblosan. Yang perlu dicermati, endorsement dilakukan bukan dengan cara membabi buta, tapi dengan argumen rasional. Dan biasanya, endorsement itu mengacu pada ideologi ekonomi.
Bagi pemilih tertentu, terutama kelompok pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) artikel-artikel endorsement dari media-media mainstream biasa akan dijadikan acuan dan banyak membantu untuk menentukan pilihan.
Tentu saja, endorsement itu bisa berbeda antara satu media dengan media lainnya. Biarkan saja. Bukankah salah satu tugas kudus setiap media adalah memberikan pencerahan.
Secara pribadi, saya berharap media-media besar nasional di Indonesia juga sudah harus berani memulai tradisi endorsement tersebut. Dan Pilkada DKI 2017 tampaknya bisa dijadikan momentum yang terbaik untuk mengawalinya.