Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Ramadhan Ya Ramadhan

Diperbarui: 9 Juni 2016   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramadhan Ya Ramadhan, Dokumen Pribadi

Aku ingin menjadi tamumu yang layak dihormati dan dimuliakan, wahai Ramadhan. Dan aku tahu, bahwa untuk termuliakan dipangkuanmu, aku harus lebih dulu memuliakanmu.

Untuk ritual menahan makan dan minum di siang hari, dari saat fajar menyingsing sampai sang surya terbenam, saya relatif sukses.

Juga, berusaha dan bolehlah dibilang aku relatif sukses menahan amarah pada sesuatu yang sangat pantas disirami api kemarahan. Tapi sering justru persoalan-persoalan yang remeh temehlah yang berhasil memancing amarahku. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Setiap kali bertemu dengan seseorang, aku berusaha menyungging senyum senormal dan seikhlas mungkin. Tetapi hatiku toh masih kecewa, ketika orang aku sedekahi senyuman itu tidak membalas senyumku. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Di meja makan berbuka puasa, aku mencoba taatpada tuntunan Sunnah Nabi yang menegaskan bahwa “Kami adalah umat yang tidak makan kecuali kalau sudah lapar, dan giliran sudah makan, kami tidak sampai kekenyangan”.

Tapi sungguh, wahai Ramadhan, rupa-rupa penganan berwarna-warni itu sungguh menggoda seleraku. Kuah kolak dan bumbu kepala kakap itu seolah berteriak: “Balaslah hausmu dan laparmu dengan menyantapku”. Si daging dan si ayam dan si ikan nyaris aku mendengar suaranya yang mendesak, “Ehm, seharian kamu tidak makan, kok saya dibiarkan tak disantap, justru ketika makan dibolehkan, sejak azan magrib terdengar”. Lalu semuanya dicicipi, dan tak lama kemudian, di perut terasa tak ada lagi ruang yang tersisa. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Di tempat kerja, beberapa orang yang di luar Ramadhan jarang terlihat berwudhu untuk shalat zhuhur dan ashar. Tapi di bulan Ramadhan, tampak lebih rajin bahkan untuk shalat Adh-Dhuha daripada orang-orangyang biasanya menunaikan shalat Adh-Dhuha. Melihat pemandangan seperti itu, hatiku tak kuasa menahan mulutku untuk berkomentar: “Ahh, rajinnya cuma dibulan Ramadhan saja.” Komentar seperti ini adalah pertanda aku belum sepenuhnya layak dimuliakan dan termuliakan di pangkuanmu, wahai Ramadhan. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Ketika semestinya berada di masjid, aku justru berdiam di rumah. Saat seharusnya berada di rumah, aku masih di jalanan. Dan waktu seyogyanya sudah berada di jalanan, aku masih tertidur lelap. Aku belum sepenuhnya mampu mengikuti ritmemu, wahai Ramadhan. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Dan yang lebih fatal, aku ternyata belum telaten membedakan suasana Ramadhan dan suasana bukan Ramadhan, kecuali dari sudut lahiriyah saja: tidak makan dan tidak minum di siang hari, ritual sahuran dan berbuka puasa, dan masjid-masjid ramai orang tarawihan di malam hari, jemaah shalat subuh pun tampak lebih ramai dari biasanya. Dan hasilnya, aku belum sukses.

Berbusa-busa mulutku komat-kamit melantunkan zikir yang sering tidak disertai kehadiran hati. Sungguh pantas ungkapan Nabi Muhammad “Sekian banyak orang berpuasa, yang diperoleh hanya lapar dan dahaganya saja”. Aku sungguh khwatir akan termasuk kelompok itu.

Tapi Ramadhan baru berlalu empat hari. Aku berharap bangat semoga di hari-hari Ramadhan yang masih tersisa banyak itu, pada akhirnya aku layak menjadi tamu-mu yang pantas dimuliakan oleh Pemilik Ramadhan.

Ramadhan karim, ya Rabb.

SyarifuddinAbdullah | Kamis, 09 Juni 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline