Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Liburan Berkualitas: Nggak Ngapa-ngapain

Diperbarui: 26 Maret 2016   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Apa artinya menjadi kaya jika tak bisa menikmati kekayaan itu. Lebih sial lagi, ada orang kaya dan sebenarnya secara fisik bisa menikmati kekayaannya, namun tidak punya waktu untuk menikmati kekayaannya.

Karena itulah mungkin muncul konsep berlibur: yang merupakan salah satu cara menikmati kekayaan. Para pakar gaya hidup kemudian memasukkan item kemampuan finansial untuk membiayai liburan (punya alokasi dana untuk berlibur) sebagai salah satu indikator kemakmuran individual atau rumah tangga.

Hampir sama dengan pengalaman hidup banyak orang: saat masih muda dan sehat, belum punya pantangan untuk mencicipi jenis makanan apapun, tapi tidak/belum punya duit yang cukup untuk membelinya. Begitu beranjak tua, sudah sukses di bidangnya, duit banyak dan -kalau mau - dia sanggup membeli segala jenis makanan, tapi sudah keburu tua, dokter sudah melarangnya makan inilah, itulah, itu-inilah.

Berlibur intinya adalah beristirahat dari beban rutinitas. Tapi terbukti banyak orang yang sedang berlibur, namun tetap saja dibebani/terbebani pekerjaan rutinitasnya. Di lokasi liburan, dia tetap sibuk menelepon dan/atau ditelepon.

Setahu saya, tidak ada agama yang melarang liburan. Dalam Islam misalnya, tidak ada perintah dan/atau larangan berlibur. Makanya secara hukum, berlibur diposisikan sebagai sesuatu yang mubah saja.

Memang tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah saw atau sahabat (generasi khulafaurraayidin) pergi berlibur. Kegiatan berlibur mulai dilakukan di era kekhalifaan (Umawiyah di Damaskus, Abbasiyah di Baghdad dan Usmaniyah di Istanbul).

Hanya dari sudut hukum agama, berlibur tidak bisa diartikan "berhenti melakukan rutinitas ritual yang wajib". Seorang Muslim yang sedang berlibur tetap wajib menunaikan shalat wajib lima waktu. Paling hanya dibolehkan menggunakan fasilitas keringanan (rulhshah - رُخْصَة) seperti menjama-qasr shalat atau tidak tidak puasa di bulan Ramadhan (itupun puasa yang batal itu harus diganti di hari yang lain)

Dari zaman ke zaman, konsep berlibur sendiri ternyata bergeser makna dan prakteknya.

Saat ini, muncul gagasan yang mengatakan, berlibur yang paling berkualitas adalah nggak ngapa-ngapain (doing nothing). Namun konsep ini hanya enak didengar, tapi sesungguhnya tidak praktis. Tidak mungkin seseorang yang sedang berlibur, tidak ngapa-ngapain. Sebab beristirahat sendiri adalah melakukan perbuatan/laku istirahat.

Maka konsep berlibur bergeser lagi: enjoy, menikmati masa liburan, yang bisa berarti (1) mengalihkan kegiatan dari yang bersifat rutin ke aktivitas yang bersifat hobi, misalnya bersepeda, mendaki gunung, memancing, dll; (2) bisa juga dimaknai mengalihkan substansi kegiatan. Seorang profesor di bidang matematika misalnya, yang setiap hari bergulat dengan rumus angka-angka, boleh saja berlibur dengan mengalihkan substansi kegiatannya, misalnya, dengan membaca novel atau berdiskusi tema kebudayaan dan sejenisnya.

Kalau sedang penat suntuk oleh pekerjaan rutin di depan komputer, lalu beralih bermain game online, itu juga bisa disebut berlibur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline