Lihat ke Halaman Asli

syarifuddin abdullah

TERVERIFIKASI

Penikmat Seni dan Perjalanan

Catatan Kritis terhadap Program Deradikalisasi

Diperbarui: 21 Januari 2016   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="File pribadi"][/caption]

Ini sebenarnya lagu lama. Setiap kali terjadi aksi teror, beberapa minggu setelahnya, semua orang bicara soal urgensi deradikalisasi. Itupun, kalau dicermati, tawaran gagasan yang muncul lebih sebagai pengulangan yang berulang-ulang. Habis itu seppiiiiii, terus aksi teror terjadi lagi, dan kembali semua orang bicara deradikalisasi, begitu seterusnya.

Kalau yang dimaksud adalah mengubah seorang radikal menjadi moderat, saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada efektivitas program deradikalisasi. Dan catatan kritis ini akan fokus pada beberapa asumsi dasar program deradikalisasi yang terkesan dipaksakan:

Pertama, jangankan mengubah seorang radikal menjadi moderat, mengubah seorang penganut paham NU tulen menjadi Muhammadiyah – atau sebaliknya – itu nyaris mustahil. Ini soal faham, dan faham itu memiliki rujukan, acuan argumentasi, kerangka teoritis dan landasan sejarah. Singkatnya, ini persoalan tafsir terhadap teks dan sejarah.

Kedua, suka tidak suka, radikalisme adalah ideologi yang memiliki rujukan, acuan argumentasi, kerangka teoritis dan landasan historisnya. Jangan hanya karena tidak setuju, kita lantas menggampangkan persoalan dengan mengatakan: radikalisme adalah ideologi yang ngawur. Sebab sepanjang sejarah, fenomena radikal adalah isu sentral dalam setiap agama dan aliran ideologi manapun.

Ketiga, ideologi radikal adalah sebuah faham yang sebenarnya kuno, dan senantiasa muncul dalam berbagai bentuk variannya, hampir pada setiap periode zaman. Dan itu membuktikan ideologi radikal tidak pernah mati, dan sulit ditanggulangi apalagi diberantas. Artinya diperlukan kecerdasan menyiasati tentang how to deal with radicalism. Mengelola kompleksitas yang saling bertubrukan memang tidak gampang.

Keempat, radikalisme selalu eksklusif, mulai dari metode pemahaman dan prose rekrutmen sampai ke lingkungan pergaulan. Mereka gampang curiga kepada dunia di luar lingkungannya. Maka seorang radikal Muslim umumnya hanya percaya pada mentornya.

Untuk membaca buku tertentu saja, dia harus izin dulu kepada mentornya. Jadi kalau pelaku program deradikalisasi menulis buku tentang deradikalisasi yang dipublikasikan – baik oleh lembaga pemerintah atau non-pemerintah – bisa dipastikan tidak akan dibaca oleh mereka yang sudah radikal, yang notabene menjadi sasaran program deradikalisasi. Dibaca pun tidak.

Contoh lain, di beberapa penjara, komunitas radikal ini bahkan melaksanakan shalat Jumat sendiri, terpisah dari shalat jumatan yang diselenggarakan pihak penjara. Mereka tidak mau mendengar khatib Jumat, yang tidak sealiran.

Kelima, seperti umumnya terminologi sosial, istilah radikal adalah sebuah term yang lentur, tergantung posisi dan perspektif apa yang digunakan dalam menilai dan menentukan apakah sebuah gagasan/perilaku dapat disebut radikal atau tidak radikal.

Di zaman pergerakan, seorang pejuang kemerdekaan akan diposisikan radikal atau ektremis oleh rezim penjajah. Di zaman Orde Baru kita mengenal istilah Raka (Radikal Kanan) yang dikonotasikan dengan kelompok Islam, dan Raki (Radikal Kiri), yang diasosiasikan dengan kelompok sosialis kiri (baca PKI).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline